“...Bagi orang yang melaksanakan
puasa ada dua kebahagiaan, kebahagiaan ketika berbuka, dan kebahagiaan ketika
bertemu Rabbnya...” (HR. Muslim).
Assalamu’alaykum,
Pembaca. Syukur alkhamdulillah, Allah
masih memberikan kesempatan membuka mata hingga mendekati akhir ramadhan 1437H
ini. Betapa bahagianya ya sebentar lagi bisa kembali pada rutinitas secara
normal. Menikmati kembali segala makanan dan minum tanpa batasan apapun,
terlebih makanan yang biasanya melimpah pascaramadhan. Menikmati nyenyaknya
tidur tanpa harus bangun pagi-pagi benar untuk menjadi bagian garda terdepan
jamaah shubuh. Menikmati dan memaksimalkan aktivitas malam hari tanpa terganggu
+8 atau +20 yang benar menghabiskan waktu dan nyatanya melelahkan, tidak
seperti makna santai sesungguhnya. Dan masih banyak lagi kenikmatan tiada tara
ketika sebuah pintu dibuka dan pintu yang lain ditutup, benar begitu kan?? :)
Pembaca
yang terhormat, senyatanya tidak sebahagia atau senikmat itu. Cuplikan hadits
diatas menunjukkan salah satu kebahagiaan yang justru tidak akan kita dapatkan
secara normal selepas ramadhan, bila tidak berbekal usaha yang begitu kuat.
Yang
hilang itu, kebahagiaan saat berbuka puasa. Kebahagiaan yang tidak diketahui
orang lain, hanya kita dan Allah yang tahu. Orang lain hanya bisa melihat
semangat kita ke masjid, antri ta’jil, menyegerakan berbuka, dan sejenisnya.
Namun kembali, itu hanya sebagian yang nampak. Dan kini #RamadhanAkanPergi.
Yang
hilang itu, bernama kebersamaan. Kebersamaan saat berbuka puasa “buber” dengan
keluarga, rekan-rekan, bahkan orang yang tidak kita kenal sekalipun.
Kebersamaan berkumpul yang insyaaAllah, dan semoga diniatkan dengan benar,
untuk silaturrakhim. Bukankah silaturrakhim bisa “memperpanjang” kesempatan
kita untuk berbuat baik? Dan kini #RamadhanAkanPergi.
Yang
hilang itu, bernama kesetaraan. Baik kita kaya atau berkecukupan, bos atau
pegawai, pejabat atau rakyat jelata, kaum intelektual atau kaum awam, we’re all the same. Apapun kondisinya,
kita sama-sama merasakan namanya dahaga luar biasa, lapar tiada tara, nyesaknya
menahan segala sesuatu yang halal lagi baik untuk kita nikmati. Orang yang
hanya bisa makan 1x sehari bila mampu, hingga yang biasa makan 3x sehari bila
tidak kurang. 1 bulan yang mana membuat kita sama-sama “merasa” senasib
seperjuangan, saling menguatkan dan menahan diri dari godaan makanan yang
nikmat. Dan kini #RamadhanAkanPergi.
Yang
hilang itu, bernama sahur. Bukan sahurnya, namun sunnah Rasulullah. Pahala
sunnah yang hanya didapatkan untuk orang-orang yang sahur sebelum puasa. Dan
kini #RamadhanAkanPergi.
Yang
hilang itu, somekind like menyegerakan berbuka. Bukan secepat-cepatnya
menghabiskan seluruh sajian ifthar, namun sunnah Rasulullah. Menyegerakan
berbuka dengan kurma dan air bening juga sunnah. Sunnah lagi. Dan kini
#RamadhanAkanPergi.
Yang
hilang itu, bernama santai dan berjumlah +8 atau +20. Shalat tarawih, yang
semakin menambah keberkahan karena telah mengisi malam yang biasanya waktu
untuk istirahat, waktu untuk keluarga, waktu untuk belajar, namun diisi dengan
ibadah yang sunnah juga. Lagi-lagi sunnah. Dan kini #RamadhanAkanPergi.
Yang
hilang itu, bernama respect of time. Bangun
pagi benar, bisa. Sahur mendekati shubuh, bisa. Shalat Shubuh jamaah, bisa.
Beraktivitas, masuk kerja, masuk sekolah, tetap tepat waktu, bisa. Shalat
dhuhur, ashr, maghrib, berjamaah dan tepat waktu, bisa. Berbuka puasa tepat
waktu tet saat adzan, bisa. Shalat isya dan tarawih tepat waktu, bisa. Tetap tilawah
dan beraktivitas malam sampai tidur lalu bangun shalat malam tepat waktu, bisa.
Apakah setelah “ngoyo” atau berupaya seperti itu lalu kita kelelahan? Jatuh sakit?
Tidak pula. Sebuah kondisi time management yang kondusif dan bukti nyata bahwa
kita mampu tepat waktu. Bukan sehari dua hari, namun 1 bulan. Dan kini
#RamadhanAkanPergi.
Yang
hilang itu, bernama saudara-pejuang-pemakmur masjid. Merasakan penuhnya jadwal
piknik ke taman-taman surga dari pagi sampai malam. Melihat penuhnya masjid
diawal ramadhan, sebanyak itulah saudara kita. Melihat depan, belakang, kanan,
kiri, sudut-sudut ruang, baik yang melingkar atau berjajar, sama-sama tilawah
Al-Qur’an, menjaga pintu-pintu masjid terbuka dan lampu-lapun masjid tetap
menyala sampai larut malam. Sunnah, so pasti, namun dilain sisi lagi-lagi suatu
kondisi yang kondusif, kondisi yang “hidup”, kondisi yang diidam-idamkan oleh
masjid manapun. Dan kini #RamadhanAkanPergi.
Yang
hilang itu, bernama lailatul qadr. 1 malam saja, bernilai lebih baik dari 1000
bulan. Disaat malam-malam lain hanya membuat kita galau karena single, menatap
takjub langit yang mendung, maupun menatap kosong langit indah penuh bintang, 1
malam ini benar-benar menggerakkan kegalauan dan tatapan palsu itu menjadi
lantunan kalamullah sembari berdo’a
memohon ampunan atas segala jenis dosa yang telah melangit ini. 1 malam tak
terduga yang mampu menggerakkan semangat taqwallah
minimal dalam 10 hari terakhir ini. Dan kini #RamadhanAkanPergi.
Yang
hilang itu, double-triple-quadruple-infinity
exp. Gamer setia pasti tahu exp
(experience) berguna untuk naik level. Namun kita orang biasa cukup paham
dengan pahala. Saat 1 kebaikan
dilipatgandakan 10x atau 700x atau lebih dari itu, disaat yang sama sunnah
dinilai wajib, yang wajib dilipatgandakan sekian kali yang wajib. Matematika
Allah memang beda. Namun cukup menyadarkan betapa pahala benar-benar ready
stock dalam jumlah tak terbatas dan siap kita raup sebanyak mungkin, setiap
hari, setiap waktu, every where. Dan kini #RamadhanAkanPergi.
Pembaca
yang terhormat, penulis yakin sebenarnya masih banyak hal yang akan hilang
ketika bulan ramadhan ini usai. Dan, “...kenikmatan tiada tara ketika sebuah
pintu dibuka dan pintu yang lain ditutup...”, ketika pintu-pintu neraka dibuka
selebar-lebarnya, syaithan tidak lagi dibelenggu, apakah hati ini akan rindu ramadhan?
Akankah diri ini tergerak untuk “melanjutkan” nafas-nafas ramadhan? Akankah
diri ini mampu “menjaga” ramadhan sampai ramadhan berikutnya?.... Apakah kita
yakin masih diperkenankan Allah bertemu dengan ramadhan tahun depan hanya untuk
mendapatkan kebahagian-kebahagian tersebut?....
Akhir
kata, penulis mohon maaf atas segala hal yang tidak selayaknya ditulis, maafkan
atas segala sindiran yang ada. Mohon maaf juga atas segala kesalahan pribadi
penulis didunia nyata. Kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan oleh
penulis. Wassalamu’alaykum, Pembaca.
No comments:
Post a Comment