Friday, December 22, 2017

ANOTHER "WORD" OF LOVE, FROM ALLAH, FOR MOM

...Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?.. Ibumu!.. Kemudian siapa lagi?.. Ibumu!.. Kemudian siapa lagi?.. Ibumu!.. Kemudian siapa lagi?.. Kemudian ayahmu...” (HR. Bukhari dan Muslim). Sebuah surat perintah langsung dari Allah dan Rasul-Nya, sebuah perintah yang tertuju pada seluruh manusia tak terkecuali, karena pasti kita memiliki seorang ibu untuk dapat hadir di dunia ini. Cinta Allah terhadap kita terbukti dengan menghadirkan orang spesial yang sudah jelas kita pikirkan setiap hari, kita jaga setiap saat baik secara langsung maupun tidak langsung melalui do’a kita, yang kemudian kita pikirkan dan usahakan tersebut senilai dengan ibadah. Akan berbeda ketika orang tua apalagi ibu sudah tidak dihadirkan Allah dalam benak, hati, bahkan do’a kita sehari-hari, tergantikan oleh bayang-bayang asyiknya jalan bersama teman, terpikir rencana senangnya kumpul bersama teman, dan sebagainya.

“...Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang berbuat demikian itu adalah Allah...” (QS. Az-Zumar: 6). Cinta Allah terhadap kita yang pada saat itu hanya darah, segumpal daging, yang lemah, terbukti melalui anugerah berupa tempat yang dinyatakan sebagai tempat yang kokoh, yaitu rahim dari seorang ibu. Tempat yang mampu melindungi sekaligus membesarkan segumpal daging tak berbentuk, menjadi tulang belulang, otot dan organ, syaraf, hingga kemudian sang ibu mampu merasakan keaktifan kita. Keaktifan yang sejatinya menyusahkan, membuat semakin berat dan susah dalam beraktifitas. Namun ibu tahu aktifnya buah hati merupakan hal yang semakin menguatkan dirinya.

 “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan...” (QS. Al-Ahqaaf: 15). Cinta Allah terhadap kita yang pada saat itu sungguh merepotkan hidup seorang wanita yang hamil, Allah mengijinkan kita untuk keluar. Kita yang pada saat itu dengan senangnya keluar tanpa tahu bagaimanakah usaha ibu yang sejatinya mempertaruhkan nyawa hanya demi melihat buah hatinya. Kita lahir ke dunia tanpa mau tahu bahwa Allah telah mempersiapkan tempat terindah di dalam naungan-Nya, surga-Nya, ketika kemudian ibu tersebut ridha dan Allah mengijinkan ruh ibu untuk kembali pada Rabb-nya pada saat itu juga. Cinta Allah terhadap kita yang kemudian lahir sebagai bayi yang hanya bisa menangis sebagai isyarat atas segala hal yang diperlukan. Allah tidak hentinya mencintai kita melalui kemampuan seorang ibu dalam menyapih kita. Tetes demi tetes air susu yang hingga sampai akhir hayat kita pun, satu tetes saja tidak akan pernah bisa tergantikan dengan amaliyah baik kita.

Dari Abdullah Ibnu Amar al-‘Ash Radhiyallaahu’anhu bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda: “keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan orang tua dan kemurkaan Allah tergantung pada kemurkaan orang tua” (HR. Tirmidzi). Sungguh Allah mencintai kita dengan hadirnya ibu. Setiap perkataannya, do’a yang dilantunkan, seakan tidak ada pembatas dan halangan supaya Allah tidak mengabulkannya. Allah memberikan akses khusus terkabulkan do’a ibu setiap saat, sepanjang umur hidupnya, selama tidak berbuat dosa besar. Do’a baik orang tua menjadi sebuah keniscayaan bahwa kemungkinan besar akan terjadi. Pun sebaliknya, do’a buruk terhadap si anak pun menjadi sebuah keniscayaan untuk terjadi. Namun betapa ibu adalah orang yang sabar lagi bijak, menyikapi dan mengambil langkah dalam berdo’a hanya untuk kebaikan buah hatinya. Karena ibu paham potensi do’a yang pasti terkabul pun menjadi senjata berbahaya sejak do’a akan keburukan itu baru saja terlntas dalam benaknya sepersekian detik.

Akhirnya, inilah sebagian kecil bentuk cinta Allah kepada kita umumnya sebagai seorang anak, dan khususnya sebagai seorang ibu yang sungguh dimuliakan Allah dan Rasul-Nya. Allah mencintai kita bukan dari melimpahruahnya harta kita, bukan dari berapa harta yang kita miliki, bukan dari nafas yang sampai detik ini kita nikmati. Namun kehadiran seorang ibu lah beserta segala kelebihannya merupakan bukti kecintaan Allah kepada kita tak terkecuali. Dan sungguh disayangkan apabila seorang ibu telah dipanggil Rabb-nya, menjadikan satu kunci kenikmatan sekaligus kenikmatan seorang anak itu sendiri telah hilang selama-lamanya. (maw)


Saturday, October 28, 2017

JIWA PEMUDA INDONESIA: TERKINI DAN TERDAHULU, BERANI BERSATU

Pemuda Indonesia Berani Bersatu” (Kemenpora RI, 2017).

Assalamu’alaykum, Pembaca. Syukur alkhamdulillah, Allah masih memberikan kesempatan kepada kita untuk sekali lagi berada pada puncak atau minimal turut merasakan semangat para pemuda. Ya, tentunya momentum Sumpah Pemuda pada hari Sabtu (28/10) ini turut menjadi charger semangat kita.

Tak sejengkal tanah pada dunia di genggaman tangan Pembaca sekalian kecuali sudah dipenuhi dengan bibit-bibit jasmerah melalui ceritera perjuangan poetra dan poetri Indonesia terdahulu, peran penting pemuda yang disebut oleh salah satu Founding Father mampu mengguncang dunia, hingga tantangan dan pesan perjuangan kekinian terhadap pemoeda jaman now. Pun, pemerintah melalui Kemenpora dengan tegas mengusung big concept “Pemuda Indonesia Berani Bersatu” untuk menjadikan ledakan semangat ini sebagai suplai energi penguat dan penjaga keutuhan serta kemajuan NKRI.

Bukan sebaliknya, ledakan yang membumihanguskan NKRI dari sel yang terkecil yaitu diri kita sendiri, dengan contoh riil adalah berani bersatu menebar kebencian terhadap saudara sendiri terlebih saudara seiman, berani bersatu unjuk kekuatan atas nama penjagaan tradisi (yang negatif), hingga berani bersatu unjuk diri kaum yang dulu merasa teraniaya namun tetap sabar menunggu permintaan maaf serta pengakuan atas nama hak asasi dan eksistensinya yang tidak membahayakan.

Ledakan semangat tersebut sejatinya tidak hanya muncul pada momentum Sumpah Pemuda saja, karena pemuda memang identik dengan semangat menggelora, penyadaran kompetensi, pengakuan diri, aktualisasi diri, dan sebagainya, di berbagai waktu dan kondisi. Buah dari semangat tersebut cukuplah membenarkan bahwa pemuda berpotensi mengguncang dunia: semangat dalam pembinaan diri, berbakti kepada orang tua, peduli dengan kerabat serta sahabat, pemuda prestatif akademik, pemuda aktivis keagamaan, pemuda aktivis kepartaian, pemuda aktivis peduli bencana, komunitas pemuda sosiopreneur, komunitas pemuda pembina kaum marginal dan anjal, komunitas pemuda pejuang daerah 3T, komunitas pemuda pejuang 1000 Startup, hingga sekaliber aliansi pemuda pejuang anti reklamasi, aliansi pemuda pejuang anti korupsi, aliansi pemuda peduli kinerja pemerintah, dan sebagainya. Ya, pemuda jaman now sudah berani bersatu menghadirkan dirinya sebagai garda terdepan, analis, sekaligus problem solver di tengah masyarakat.

Pembaca yang terhormat, namun kemudian menjadi pertanyaan adalah sejauh mana analisis dan problem solving yang ditawarkan oleh pemuda. Mengingat pernyataan seorang tokoh pendidikan nasional yang menyatakan bahwa “Anak muda memang minim pengalaman, maka dari itu mereka tak tawarkan masa lalu, mereka menawarkan masa depan”. Ya, pemuda terkini memang minim pengalaman karena terlahir setelah pemuda terdahulu, sebuah konsekuensi logis, faktor U. Analisis dan problem solving tentu sejalan dengan pengalaman, tapi tetap saja semangat tak akan terbendung maupun surut seiring dengan kesadaran kurangnya pengalaman diri. 

Riskan itu manakala negeri dinaungi oleh beragam masalah sedangkan yang berwenang kurang atau bahkan tidak memberikan prioritas serta arahan yang jelas, siapa dan masalah apa yang akan diselesaikan terlebih dahulu. Kurangnya prioritas dan arahan pada umumnya juga dibumbui dengan gebrakan nama yang persuasif seperti gerakan seratus X, gerakan seribu Y, gerakan sejuta Z, dan seterusnya, sekaligus bumbu utama berupa sekian lembar kertas atau cek bernominal untuk Leading Innovation dari arah yang tak terduga, nyatanya sukses menggaet hati para pemuda yang rindu akan aktualisasi dan kontribusi, tanpa mengesampingkan niat baik untuk berdharma bakti pada negeri.

Disebut dari arah yang tak terduga karena hal yang rumit nan canggih lagi kekinian bisa jadi kalah dengan hal yang sederhana namun sesuai kebutuhan masyarakat lagi terjangkau, atau bahkan sebaliknya. Ibaratnya penggunaan energi dari ledakan tersebut kurang efisien, mungkin akan bertahan jangka pendek, tanpa menafikkan sedikitpun kebermanfaatan yang pasti ada.

Pembaca yang terhormat, betapa besar dan beragamnya potensi pemuda, bukan berarti pemuda harus menemukan, menganalisis, dan memecahkan masalah dengan kemampuannya sendiri. Memang benar bahwa pengalaman akan berkembang seiring bertambahnya temuan masalah, komprehensifnya analisis, hingga solusi yang tepat guna, manakala itu dilakukan langsung oleh pemuda. Hal tersebut agaknya menjadi dalil wajib bagi para pemuda terdahulu untuk tega dan segan “melepas” pemuda terkini atas nama kedewasaan dan kemandirian. Maupun dengan dalil demi tercapainya kualitas pemuda terkini yang diharapkan sama dengan atau bahkan lebih dari kualitas pemuda terdahulu yang mengaku telah melewati masa-masa sulit dijamannya hingga menjadi “orang” sekarang.

Riskan itu manakala pemuda terdahulu sukses bernostalgia dengan perjuangannya jaman dahulu ketika ditanya masalah, analisis, dan solusi oleh pemuda terkini, dijaman ini. Riskan itu manakala pemuda terdahulu sukses membuat sistem yang berjalan sempurna jaman dahulu ketika ditanya menyoal sistem yang hendak dikembangkan oleh pemuda terkini, dijaman ini. Riskan itu manakala pemuda terdahulu menyatakan bahwa perjuangannya kini telah usai maka sekarang giliran pemuda penerus, ketika mendapat ajakan oleh pemuda terkini, dijaman ini. Riskan itu manakala pemuda terdahulu sukses meyakini, menginternalisasikan, dan mengimplementasikan secara penuh dalil wajib yang penulis sampaikan diatas, ketika berhadapan dengan pemuda terkini, dijaman ini.

Dari kesemuanya, kemudian muncul hal yang lebih riskan yaitu manakala pemuda terkini sudah tidak percaya, tidak berkenan untuk menganggap penting pemuda terdahulu, tidak ingin menimba ilmu darinya. Padahal pemuda terdahulu merupakan kunci sekaligus penyempurna kelemahan atau kekurangan pemuda terkini, yaitu pengalaman.

Ketidakpercayaan tersebut tak jarang kembali membuat geram para pemuda terdahulu yang merasa tidak dipedulikan, tidak dihormati, tidak dianggap berkontribusi, dianggap sudah tidak relevan, dan sebagainya. Laiknya lingkaran syaithan, satu bermasalah, maka yang lainpun kena getahnya, hingga getah tersebut kembali pada yang memulai masalah. Bukan lagi salah pemuda terkini, pun bukan salah pemuda terdahulu, atau memang salah keduanya. Perlunya kesadaran diri masing-masing, meskipun alangkah baiknya pemuda terdahulu semangat memberikan contoh atau teladan yang baik.

Seorang tokoh muslim dari kalangan Shahabat, Ali bin Abi Thalib, menyatakan “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan jamannya, karena mereka bukan hidup dijamanmu”. Pembaca, secara tekstual memang ditujukan untuk anak, namun perluas wawasan kita. Tidak hanya sebatas orang tua (ibu-bapak) terhadap anak, namun berlaku juga untuk kakak terhadap adik kandung, kakak terhadap adik angkatan meskipun hanya berbeda 1 generasi, pimpinan terhadap stafnya meskipun hanya  berbeda 1 generasi, apalagi dengan yang jarak antar generasi cukup jauh. Karena berbeda 1 generasi pun tak menutup kemungkinan akan berbeda kondisi. Sejatinya hanya menyoal siapa yang lebih dulu lahir dan siapa berikutnya. Meskipun kita sama-sama familiar dengan istilah Baby Boomers, Gen X, Gen Y, Gen Z, Gen Alpha, dan sebagainya.

Maka, alangkah baiknya apabila pemuda terdahulu turut bersatu dengan pemuda terdahulu yang lain, yang sama-sama berpengalaman. Suksesnya nostalgia kita hanya sebagai teladan bagaimana pemuda terkini harus semangat berjuang. Selebihnya, pemuda terdahulu tetap memiliki kewajiban untuk mendidik pemuda terkini, dijaman ini, sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, harus kembali berjuang untuk menilik balik atau me-review perkembangan jaman lintas generasi. Pemuda terdahulu tidak perlu khawatir, ragu, atau gengsi untuk belajar dari pemuda terkini terkait jamannya. Apabila ada kesalahan atau ketidakberkenanan kita terhadap pemuda terkini, maka dipastikan itu merupakan buah dari keengganan pemuda terdahulu untuk berbagi ilmu maupun memberikan teladan.

Akhirnya, pemuda itu bukanlah yang memang usia muda, luaskan wawasan kita bahwa pemuda itu merupakan JIWA, yang sah-sah saja dimiliki oleh semua kalangan, semua umur, kapanpun, dimanapun. Buktikan bahwa pemuda terdahulu tetap memiliki jiwa pemuda terkini untuk mampu berjuang dijaman ini. Buktikan bahwa pemuda terdahulu merupakan sebenar-benar teladan. Ketika kelak pemuda terkini menjadi pemuda terdahulu, Penulis berkeyakinan kuat bahwa pemuda terkini di masa depan kelak minimal akan melakukan hal yang sama kepada pemuda terkini di masa depan, dan begitulah seterusnya. Inilah sebenar-benar era kolaboratif untuk menyongsong era dengan tantangan yang jauh lebih rumit.

Penulis memohon maaf karena dalam kepenulisan lebih bersifat subjektif sehingga mungkin ada hal/ pemikiran/ konsep yang kurang berkenan. Saling mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran. Saran yang membangun selalu dinantikan untuk terus memperluas wawasan kita bersama.

Wassalamu’alaykum, Pembaca. 

Sunday, June 11, 2017

MEREKA YANG “PAHAM”, “TIDAK PAHAM”, DAN HADIRNYA “MANTAN”

Berhenti menutup mata, mulailah berbagi rasa. Berhenti menutup diri, mulailah memberi arti. Act now!” (Class Mild, 2013).

Sebuah kalimat yang sarat makna nan mudah dipahami. Sebuah kalimat nan persuasif yang mengajak kita untuk mengaktualisasikan diri. Sebuah kalimat yang terucap bukan dari seorang ahli kesehatan, pemerhati kesehatan, pemerintah, bahkan sekelas motivator, melainkan terucap dari seorang yang “paham” benar betapa manusia butuh asupan semangat baik secara tindakan maupun verbal. Bukan rahasia umum manakala sesuatu yang penting pasti disampaikan berulang kali, begitu juga mereka yang “paham” secara kontinyu memberikan pesan kehidupan tersebut setiap hari. Namun sungguh disayangkan, mereka yang “paham” justru duduk di kursi dan meja kerja yang tidak tepat, menuangkan gagasan pada kertas yang tidak tepat, pun membawa kepentingan yang tersembunyi dibalik sebuah pesan kehidupan. Kepentingan yang mampu terlindungi oleh karena kontribusinya pada perekonomian dan ketenagakerjaan suatu bangsa cukup bermakna. Kepentingan yang tiada lagi selain bisnis dan pengerusakan suatu bangsa itu sendiri. Kepentingan yang lambat laun memaksa mereka yang “tidak paham” untuk menerima sepenuhnya atau melawan semampunya.

Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin” (PP no 13 tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan). Banyak riset tak terbantahkan yang mendasari munculnya kebijakan tersebut. Zat berbahaya dalam rokok terbukti berpotensi besar membawa kita pada kondisi tersebut. Perlu kita apresiasi salah satu perlawanan mereka yang “tidak paham” dengan cara menuliskan tulisan tersebut pada kemasan rokok, berharap sebuah keajaiban terjadi pada triliyunan sel otak para penikmat rokok setelah membacanya. Sungguh disayangkan, tulisan yang informatif namun tak cukup kuat mencapai taraf persuasif. Tulisan yang menakut-nakuti sebagian kalangan sekaligus menggerakkan sebagian kalangan yang lain untuk menantang rasa takut yang ada. Sekalipun ada denda secara materiil berupa denda uang ketika merokok di tempat yang tak seharusnya itupun tak menyurutkan semangat para penikmat rokok. Rasanya bisa dimaklumi seiring dengan ketidaktegasan sang pembuat kebijakan, manakala mulut tidak lagi sejalan dengan tindakan.

Masyarakat yang “tidak paham” pun tak tinggal diam. Muncullah gagasan “No Tobacco Day”, hari tanpa tembakau maupun rokok. Sebuah momen mendunia dimana masyarakat melawan dan menumpahkan ketidaksetujuannya terhadap rokok bahkan penikmatnya. Ketidaksetujuan tersebut disampaikan melalui orasi dan ajakan untuk tidak merokok. Dituliskan melalui poster dengan gambar yang cukup menakutkan seperti asap tengkorak, gigi yang rusak, kanker saluran nafas atas, bahkan paru yang menghitam dan membusuk, sejalan dengan tulisan yang digagas pemerintah. Bahkan dengan totalitas ada sebagian aksi mendatangi penikmat rokok, menjelaskan berbagai hal seputar rokok, lalu rokok tersebut digantikan dengan makanan, minuman, atau minimal dengan sebungkus bunga mawar nan cantik untuk menggantikan kenikmatan rokok. Patut apresiasi perlawanan sekaligus kepedulian mereka yang “tidak paham” karena mau memahami, meski hanya sehari. Sungguh disayangkan, laiknya bunga mawar cantik, sungguh cepat layu, sejalan dengan berakhirnya momen No Tobacco Day. Mereka yang “tidak paham” kembali pada rutinitas masing-masing dan berjalan bak angin berlalu mendiamkan para penikmat rokok yang mungkin tanpa kita sadari hatinya mulai terketuk.

“Berhenti menutup mata, mulailah berbagi rasa”. Bukan berarti harus ikut menjadi penikmat rokok hanya untuk bisa berbagi rasa. Namun, menghadirkan diri tanpa berbekal orasi maupun poster nan menakutkan. Menghadirkan diri yang siap mendampingi bukan menghina, berbagi pesan kehidupan bukan mendakwa, mengajari bukan melarang, sebagai teman seutuhnya bukan sebagai Tuhan yang Mahabenar dan Mahasempurna.“Berhenti menutup diri, mulailah memberi arti”. Bukan berarti harus bergabung seutuhnya dengan penikmat rokok hanya untuk berani memberi arti. Namun, menghadirkan diri tanpa pola pikir bahwa penikmat rokok adalah penikmat dosa yang kelak akan menyesal dengan sendirinya. Menghadirkan diri yang mau memahami pesan kehidupan yang kerap dibutuhkan para penikmat rokok. Bagi kita yang “tidak paham”, pasti akan susah karena mungkin kita masih menutup mata dan menutup diri. Namun, ada kalangan yang sejatinya paham sembari berharap No Tobacco Day dapat diperingati setiap hari. Ada kalangan yang mampu memahami pesan kehidupan dan tidak sedang terikat dengan bisnis maupun kepentingan. Mereka adalah mantan penikmat rokok.


Akhirnya, “Act now!”. Era kekinian identik dengan semangat memperjuangkan eksistensi diri, semangat persatuan, semangat peduli, dan memperbaiki kondisi bangsa melalui kemunculan berbagai komunitas, merupakan suatu masa yang cukup berpotensi. Untuk melawan penikmat rokok, maka hadirkan mantan penikmat rokok. Untuk melawan mereka yang duduk di tempat yang tidak seharusnya, hadirkan mantan penikmat rokok untuk duduk bermusyawarah mengonsep pesan kehidupan. Untuk melawan pesan kehidupan semu, hadirkan mantan penikmat rokok sebagai pembawa pesan. Untuk melawan kontinyuitas pesan semu, hadirkan mantan penikmat rokok yang komitmen mendampingi secara riil dan kontinyu mengetuk hati hingga terbuka. Untuk melawan kepentingan semu, hadirkan mantan penikmat rokok yang mewakili kepentingan ummat. Hadirkan mantan penikmat rokok disetiap seminar kesehatan, disetiap diskusi strategis, disetiap sosialisasi kesehatan, disetiap sudut wilayah, disetiap momen temu warga. Hadirkan mantan penikmat rokok bukan sebagai pendosa, melainkan sebagai yang paling siap berbagi rasa dan memberi arti.