Wednesday, August 5, 2020

MAHASISWA "PLUS-PLUS" SEMUA BISA DAKWAH



Judul                           : Mahasiswa “Plus-plus” Semua Bisa Dakwah

Tebal                           : viii + 126 halaman

Ukuran                        : 14 x 20 cm

ISBN                           : 978-602-5758-70-6

 

Assalamu’alaykum, Pembaca. Bagaimana kabarnya? Apakah di daerahnya sudah menjadi “Zona Hijau” atau masih menjadi “Zona Kuning” atau “Zona Merah”? Jadi, posting-an ini dibuat ketika masa Pandemi Covid-19 (Wuhan Coronavirus 2019). Sudah sekitar 5 bulan Penulis menjalani rutinitas kerja “WFH”, Work From Home, atau Work From Kost juga. Etapi, ternyata sudah sekitar 2 tahun ya Penulis tidak mendayagunakan Blog ini. Tenaaaang, Penulis masih hidup kok; alkhamdulillah masih diberi waktu untuk memperbanyak “bekal”. Pada posting-an kali ini Penulis ingin mengabarkan sekaligus promosi saja sebuah buku yang atas izin Allah bisa menambah daftar buku-buku yang ada di Bumi bagian Indonesia, hehe.

Cerita sedikit deh, bahwa keinginan untuk menulis buku ini karena merasa “gemas”, “gemes”, terhadap 5 tahun hidup sebagai mahasiswa dan beberapa tahun “membersamai” adik-adik mahasiswa juga, lantas pertama pada masanya ku dipertemukan dengan seorang mahasiswa mau tingkat akhir yang masih bertanya-tanya pada dirinya tentang “Aku sekarang mau apa ya?”, “Besok aku akan jadi apa ya?”, “Aku gak tahu punya keahlian apa!”.

Kedua, pada masanya ku dipertemukan dengan kondisi “Ini bukan hunian mahasiswa rohis (kerohanian islam), ini hunian plural! Tidak bisa dipaksakan adanya program2 islami di hunian”, “Ini bukan organisasi islam, jadi ya tidak bahas islam”, “Itu kan tugasnya organisasi rohis (kerohanian islam), bukan organisasi kami”.

Ketiga, pada masanya ku dipertemukan dengan momen sambut mahasiswa baru. Seluruh organisasi berlomba “mempromosikan” organisasinya. Kebetulan ku ada di organisasi Rohis. Rasanya seperti HARUS PAKAI BANGET ikut Rohis. Ya okelah, itu cita-cita kami, namun fatal, kasarannya menjadi saling berlomba menarik simpati “calon anggota organisasi” bahkan antar Rohis. Dan sayangnya, dari tahun ke tahun ku amati yang dipromosikan “itu-ituuuuuu” saja : kuatnya kekeluargaan/ ukhuwah, potensi relasi yang baik, bakal dapat banyak ilmu islam, kemudian ditampilkannya sederet prestasi anggota Rohis yang sebenarnya ya itu “prestasi pribadi” sih. Sampai pada 1 momen yang aku lupa kapan dan siapa yang mengatakannya, beliau mengatakan lebih kurang bahwa “tidak semua mahasiswa passionnya di kerohanian islam”, “tidak semua mahasiswa nyamannya ada di kerohanian islam”, “tidak semua mahasiswa HARUS masuk kerohanian islam”.

Turning point. Benar, bagiku adik-adik yang BARU masuk kuliah itu, entah BARU ikut-ikutan temannya, BARU salah jurusan, BARU terima apa adanya masih SNMPTN Undangan, BARU salah ikut organisasi, BARU mau coba cari informasi perguruan tinggi lain, dan sebagainya, janganlah disia-siakan. Janganlah di-ospek dengan bentak-membentak, dengan nada keras dan tinggi, dengan atribut aneh-aneh, dan sejenisnya. Termasuk kalau masuk organisasi baru, janganlah langsung diberikan segudang program kerja, janganlah langsung diberikan amanah untuk mengelola kepanitiaan. Kayak “kehabisan bahan” pemelajaran aja?!

Padahal nih adik-adik punya “potensi” masing-masing. Potensi itulah yang seharusnya, kita sebagai kakak tingkat, mampu memetakannya lantas mampu membantu menyadarkan bahwa “he! Awakmu iku berbakat dibidang iki, coba ikut o kegiatan iku”, “kelihatannya sampean pantes ikut organisasi itu”, “Dik, sampean ini punya potensi X, ku kenalin dengan kakak tingkat yang juga punya potensi X ya”.

Tidak salah kan ketika ada mahasiswa pecinta fotografi lantas tidak ikut Rohis? Tidak salah kan ketika ada mahasiswa pecinta kegiatan bidang kesehatan lantas tidak ikut Rohis? Tidak mengapa kan ketika ada mahasiswa yang memutuskan untuk tidak ikut organisasi apapun (termasuk Rohis) kecuali kepanitiaan tertentu? Tugas besar kita, hei hei para kakak tingkat dan para pejuang terutama di Rohis, adalah menunjukkan bahwa dengan fotografi kamu tetap bisa dakwah, ada poin2 islamnya. Bahwa dengan ikut organisasi bidang kesehatan kamu tetap bisa dakwah, begini cara2nya. Bahwa dengan tidak ikut organisasi apapun, fokus menuntaskan studimu, kamu tetap bisa dakwah dengan cara demikian-demikian.

Betapa asyiknya ketika adik-adik kita yang masih POLOS itu sedari awal sudah terbuka wawasannya, sadar bahwa dirinya penting dan akan punya peran penting, paham bahwa untuk menuju peran penting itu butuh upaya-upaya yang "plus-plus". Lagipula kuliah tidak untuk kuliah saja kan. Kuliah tidak untuk cari kerja saja kan. Kehendak Allah penuh kelak adik-adik kita “jadi bagaimana”, namun menjadi “perantara” dari kebaikan itu bukan perkara remeh lho dalam islam. 

Oiya, ini bagian yang paling penting. Penasaran dong pastinya untuk memiliki buku tersebut. Untuk informasi lebih lanjut dan pemesananya boleh banget kirim email : 

mahardhikawidyantoko@gmail.com


Monday, October 22, 2018

SEKALI DO'A, DUA TIGA ORANG TERLAMPAUI


Assalamu’alaykum, Pembaca. Semoga Pembaca sekalian sedang dalam keadaan baik, sehat wal ‘afiyah. Sudah hampir satu tahun penulis menghilang, lost contact, keluar dari garis orbital sistem peredaran notes facebook dan blogger, hehe. Penulis memohon do’a dari Pembaca sekalian agar kita semua dijadikan serta tetap istiqamah sebagai insan yang tidak merugi: mereka yang beriman, beramal shalikh, mengajak pada jalan yang benar, serta saling menguatkan kesabaran selama meniti jalan tersebut, Allahumma aamiin.

Engkau tahu, Kawan? Akhir-akhir ini Penulis kepikiran sesuatu hal yang berkaitan dengan do’a. Sejenak me-review, entah sudah berapa kali semenjak zaman kecil imut-imut hingga se-gedhe (besar) ini, request do’a itu hadir.
....“Mohon do’anya saja ya, Le”, ucap seorang kakak yang dijahilin adik cowoknya perkara hijab.
....“Donga (do’a) ne yo, Dhik”, “Donga’no yo, Har”, ucap rekan-rekan dengan berbagai rencana aktivitasnya.
....“Mohon do’anya ya, insyaaAllah kami....”, ucap seorang guru (!) yang memiliki project keummatan yang bikin baper karena diperuntukkan bagi anak yatim, piatu, dan dhuafa.
....“Mohon do’a nya saja deh, Mas”, ucap seorang “adik” yang otw menuntaskan amanah studinya, atau ucap mereka yang lain ketika merasa l-e-l-a-h memiliki kakak yang cerewet.
....“Mohon do’a untuk ....” (1), ucap seorang laki-laki, seorang perempuan, beserta masing-masing keluarganya, yang hendak/telah mengucapkan suatu “perjanjian” yang besar.
....“Mohon do’a untuk ....” (2), ucap orang-orang yang sedang ditimpa ujian terhadap dirinya, keluarganya, maupun kerabatnya, oleh karena sakit, bencana, hingga kematian.

Lalu “kepikiran dibagian mananya??? Akutu kepikiran:
....“Do’a ku bakal sampai gak ya?”
....”Yang minta do’a kok justru yang lebih mantap ibadahnya ya?”
....”Shalat, biasa ae. Shaum, arang. Tahajud, opo maneh. Ngaji, asal-asal-an. Piye do’a ku?”
....”Zina mata, jalan. Zina tangan, jalan. Zina telinga, jalan. Zina pikiran, jalan. Njaluk dikabulne?”

Hingga kemudian Akutu merasa tidak berguna, secara tidak langsung merasa mengecewakan orang yang memohon bantuan do’a, ekstremnya bisa jadi mutung dari do’a bahkan terhadap diri sendiri. Pernahkah Pembaca sekalian terlintas pikiran sedemikian rupanya? Sudah pikiran bergejolak, pun hati “terdalam” tak mau kalah gejolaknya.
....”Halaaah, tinggal do’a saja kok
....”Ya masa’ gak mendo’akan??? Dia sakit lho, Dia kena musibah lho”.
....”Sombong amat ini orang tidak mau berdo’a”.
....”Ulama pernah bilang kalau kita belum dikata mukmin kalau belum mendo’akan saudaranya (!)”.

Komplit sudah konflik internal pada diri ini. Namun semuanya berubah ketika.... (Opening film Avatar, hehe)

“....Tidak ada seorang muslim pun yang mendo’akan kebaikan bagi saudaranya (sesama mmuslim) tanpa sepengetahuannya, melainkan malaikat akan berkata, “Dan bagimu juga kebaikan yang sama”, (HR. Muslim).

Kau tahu, Kawan? Ternyata tidak ada alasan untuk tidak mendo’akan orang lain, pada umumnya kepada saudara sebangsa setanah air, dan terlebih kepada saudara seiman yang tersebar di segala penjuru Bumi ini. Why? Karena secara substansi do’a itu ternyata tidak hanya tertuju pada orang yang dido’akan saja, namun juga akan kembali kepada orang yang mendo’akan. U know, Gengs, Malaikat langsung yang meng-aamiin-kan do’a kita! Ya, Malaikat! Brothers, Sisters, tidak salah kok ku menyebutkan M-A-L-A-I-K-A-T. Kalau kita-kita yang berdo’a, meng-aamiin-i, sangat mungkin tertahan karena tingkah polah kita sehari-hari yang nakal. Beda level dengan Malaikat, makhluk ciptaan Allah yang nol kesalahan, tidak ada dosa, hanya melakukan yang baik-baik saja, tentu do’a ibarat berada pada jalan bebas hambatan.

Ketika kita main di dunia nyata maupun main di medsos, lalu dipertemukan maupun diperlihatkan oleh Allah dengan saudara berbagai usia yang sedang jihad memperjuangkan finansial serta kelangsungan hidup diri dan keluarganya dengan cara yang ma’ruf, kita turut membantu atau seminimal mungkin sembari hati bergetar turut mendo’akan agar yang bersangkutan dimudahkan aktivitasnya, dilariskan jualannya, dicukupkan ekonominya, diberi kesehatan yang terbaik, sejatinya kita sedang mengiba pada Yang Maha Kaya agar diri ini mampu menahan diri dari pemborosan, mengelola aktivitas, hingga merasakan nikmatnya bershadaqah.

Ketika kita berada di lingkungan kerja, sebelum memulai aktivitas di pagi hari kita langkahkan kaki ke mushala terdekat. Ambil wudhu, shalat 4 rakaat dhuha, kemudian berdo’a agar rekan-rekan kantor diberikan petunjuk serta kelancaran dalam menuntaskan amanahnya hari itu, berharap agar diberikan penjagaan dari hal-hal yang tidak diinginkan, maka sejatinya kita sedang mendo’akan kelancaran dan keberkahan atas aktivitas atau amanah kita pada hari tersebut.

Ketika ada saudari kita yang berperang dengan batinnya dalam otw hijrah dari segi penampilan dengan berbagai tantangannya, kita berdo’a agar yang bersangkutan diberikan kekuatan, bimbingan, dan keistiqamahan dalam menunaikan syariat wajib dalam berpenampilan, maka sejatinya kita ikut mendo’akan diri agar bisa terus menuntut ilmu-ilmu syariat sehingga kemudian istiqamah menjaga pengamalan syariat islam, yang sedang kita upayakan dan yang akan kita upayakan kelak dikemudian hari.

Ketika saudara kita hendak berkarya atau menuntaskan amanahnya, kita berdo’a agar Allah memberikan petunjuk, arahan, bimbingan, sehingga nafsu tidak mudah mengontrol segala niat dan aktivitasnya, maka sejatinya kita sedang berdo’a agar Allah pun membukakan “jalan” yang penuh berkah dan hampir tidak mungkin dicemari begitu mudahnya dengan hawa nafsu maupun amarah, atas tantangan dan masalah yang akan kita hadapi.

Ketika ada saudara yang sakit, kita berdo’a agar yang bersangkutan diberikan kekuatan untuk bersabar sekaligus dikaruniai pengampunan dosa dan lekas kembali beraktivitas pada normalnya, maka sejatinya kita juga sedang mendo’akan diri kita agar dikaruniai nikmat sehat wal ‘afiyah maupun kelak ketika kita jatuh sakit diberikan kesabaran dan pengampunan dosa.

Ketika ada saudara yang tertimpa musibah bencana (selaiknya kondisi terkini di Negeri tercinta), kita berdo’a agar yang bersangkutan mampu bersabar, tidak serta merta putus asa, dan berupaya mengambil hikmahnya, maka sejatinya kita sedang memohon agar diri ini diberikan kesabaran ekstra, keyakinan untuk tetap berpegang teguh pada Allah, serta kejernihan hati agar tergolong sebagai orang yang “berpikir”.

Termasuk, ketika ada saudara di luar Bumi Pertiwi nan damai ini yang sedang mengalami penindasan tiada henti (selaiknya saudara Palestina), kita berdo’a agar masyarakat disana kesabarannya going extra miles, tidak ada rasa putus asa, tetap menjaga Al-Qur’an meski dalam kecamuk perang, semakin semangat jihad fii sabilillah secara fisik, bahkan kita berharap atas kemenangan mutlak yang dinanti-nanti, sejatinya kita sedang meminta pada Allah agar diri ini peka dalam merasakan perih sakitnya, merasakan kobar semangatnya, merasakan manisnya buah perjuangan, merasakan cinta matinya pada Al-Qur’an, merasakan cita-cita tertinggi ummat Muslim.

Berdo’a terhadap diri sendiri, maka akan kembali pada diri sendiri saja. Berdo’a terhadap orang lain, maka akan tersampaikan pada orang tersebut plus kembali pada diri kita. Selaiknya kita memohon “dunia”, maka dunia saja yang akan kita dapatkan. Beda cerita bila kita memohon “akhirat”, maka kita mendapatkan paket komplit dunia dan akhirat. Penulis teringat ada seorang ‘Ulama yang mengatakan, “Saya do’akan seluruh santri-santri saya....”. Sudah santrinya makin mantap oleh karena dido’akan oleh ‘ulama, plus sejatinya do’a tersebut akan kembali dan semakin menambah kemuliaan ‘ulama tersebut, pikir saya.

Betapa pentingnya do’a sehingga tidak main-main penyebutan do’a sebagai senjatanya orang islam. Selaiknya senjata, kita harus merawat tuas, selongsong, hingga pelurunya. How to merawat kekuatan do’a? Silahkan browsing, bisa dipastikan akan banyak jawaban yang jleb. Penulis mengambil contoh satu hal saja, yaitu perkara halal dan haram. Perkara yang satu ini sejatinya luas. Berharap do’a manjur tapi makanan-minumannya HARAM? Yakin do’a manjur tapi yang dipakai barang HARAM? Ngarep banget do’a manjur tapi pakai duit HARAM? Ngebet do’a manjur tapi melakukan perbuatan HARAM demi mendapatkan itu semua? Dari keempat hal tersebut, yang kita banget pada umumnya perkara makanan dan minuman. Penulis yakin banyak diantara kita yang sudah paham kok mana makanan dan minuman yang diharamkan, semoga Allah menjaga kita dari yang jelas keharamannya tersebut. Pun penulis yakin tak sedikit diantara kita yang sudah khatam mana makanan dan minuman yang jelas dihalalkan, semoga Allah melimpahkan setetes ilmu-Nya sehingga kita selalu terpaut dengan yang jelas halalnya.

Namun semuanya berubah ketika.... Ketika yang jelas halal dan haram itu sedikit sekali sedangkan yang samar-samar, abu-abu, syubhat, misterius, dan sejenisnya, jauuuuuuuuuh lebih banyak, terlebih ketika zaman semakin kompleks. Ketika komposisi makanan dan minuman lebih kompleks dari komplek perumahan. Maka kita sama-sama berdo’a, berharap supaya Allah memberikan kepekaan dan kehati-hatian pada diri kita terhadap yang samar tadi, melalui ilmu. Seminimal mungkin adalah dengan mengucap do’a sebelum makan/minum. Apabila kita ragu yang tidak seberapa karena ilmu cukupan, maka dimantapkan saja. Apabila kita benar-benar ragu, dan keraguan itu dibuktikan dengan ilmu yang mumpuni, maka baiknya ditinggalkan. Penulis teringat kisah seorang Kiai di sebuah daerah, saking mantapnya penjagaan diri dari yang samar, bahkan beras (yang notabene halal) pun diperoleh dengan cara menanam padi secara mandiri di ladang miliknya.

Dua hal lagi, pertama, karena do’a yang ditujukan kepada orang lain akan kembali kepada kita, maka jangan mendo’akan keburukan. “Ya Allah, semoga dia celaka”, maka bagi kita juga demikian. “Mugo-mugo dagangan e gak payu (tidak laris)”, maka bagi kita hal yang sama. “Ndang cepet mati!”, maka siap-siap saja. Kedua, karena do’a yang ditujukan pada orang lain itu dikabulkan, bisa jadi kemudahan dalam aktivitas, kejernihan dalam berpikir, kebijaksanaan dalam keputusan, terhindar dari lubang ketika berkendara, mudah cari makan, uang bulanan lancar, dagangan laris, jodoh mantap, keluarga sakinah mawaddah warahmah dan berkah, sangat mungkin ada faktor X sebagai buah dari do’a orang lain pada kita, maka jangan sombong atas capaian/kondisi terbaik kita

So, Brothers n Sisters fillah, yuk saling mendo’akan dalam kebaikan. Orang lain dapat, pun kita juga dapat tanpa dikurangi sedikitpun. Gak ada ruginya saling mendo’akan, selaiknya tiada rugi dalam bershadaqah. Tak ada yang dikurangi, tak ada yang diuntungkan satu sisi saja, namun justru akan bertambah, semua pihak diuntungkan. Cuman tinggal kitanya percaya atau tidak, yakin atau tidak, mengimani atau tidak, berani membuktikan atau tidak. Ngapunten karena Penulis secara pribadi masih banyak kurang disana-sini.

Friday, December 22, 2017

ANOTHER "WORD" OF LOVE, FROM ALLAH, FOR MOM

...Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?.. Ibumu!.. Kemudian siapa lagi?.. Ibumu!.. Kemudian siapa lagi?.. Ibumu!.. Kemudian siapa lagi?.. Kemudian ayahmu...” (HR. Bukhari dan Muslim). Sebuah surat perintah langsung dari Allah dan Rasul-Nya, sebuah perintah yang tertuju pada seluruh manusia tak terkecuali, karena pasti kita memiliki seorang ibu untuk dapat hadir di dunia ini. Cinta Allah terhadap kita terbukti dengan menghadirkan orang spesial yang sudah jelas kita pikirkan setiap hari, kita jaga setiap saat baik secara langsung maupun tidak langsung melalui do’a kita, yang kemudian kita pikirkan dan usahakan tersebut senilai dengan ibadah. Akan berbeda ketika orang tua apalagi ibu sudah tidak dihadirkan Allah dalam benak, hati, bahkan do’a kita sehari-hari, tergantikan oleh bayang-bayang asyiknya jalan bersama teman, terpikir rencana senangnya kumpul bersama teman, dan sebagainya.

“...Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang berbuat demikian itu adalah Allah...” (QS. Az-Zumar: 6). Cinta Allah terhadap kita yang pada saat itu hanya darah, segumpal daging, yang lemah, terbukti melalui anugerah berupa tempat yang dinyatakan sebagai tempat yang kokoh, yaitu rahim dari seorang ibu. Tempat yang mampu melindungi sekaligus membesarkan segumpal daging tak berbentuk, menjadi tulang belulang, otot dan organ, syaraf, hingga kemudian sang ibu mampu merasakan keaktifan kita. Keaktifan yang sejatinya menyusahkan, membuat semakin berat dan susah dalam beraktifitas. Namun ibu tahu aktifnya buah hati merupakan hal yang semakin menguatkan dirinya.

 “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan...” (QS. Al-Ahqaaf: 15). Cinta Allah terhadap kita yang pada saat itu sungguh merepotkan hidup seorang wanita yang hamil, Allah mengijinkan kita untuk keluar. Kita yang pada saat itu dengan senangnya keluar tanpa tahu bagaimanakah usaha ibu yang sejatinya mempertaruhkan nyawa hanya demi melihat buah hatinya. Kita lahir ke dunia tanpa mau tahu bahwa Allah telah mempersiapkan tempat terindah di dalam naungan-Nya, surga-Nya, ketika kemudian ibu tersebut ridha dan Allah mengijinkan ruh ibu untuk kembali pada Rabb-nya pada saat itu juga. Cinta Allah terhadap kita yang kemudian lahir sebagai bayi yang hanya bisa menangis sebagai isyarat atas segala hal yang diperlukan. Allah tidak hentinya mencintai kita melalui kemampuan seorang ibu dalam menyapih kita. Tetes demi tetes air susu yang hingga sampai akhir hayat kita pun, satu tetes saja tidak akan pernah bisa tergantikan dengan amaliyah baik kita.

Dari Abdullah Ibnu Amar al-‘Ash Radhiyallaahu’anhu bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda: “keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan orang tua dan kemurkaan Allah tergantung pada kemurkaan orang tua” (HR. Tirmidzi). Sungguh Allah mencintai kita dengan hadirnya ibu. Setiap perkataannya, do’a yang dilantunkan, seakan tidak ada pembatas dan halangan supaya Allah tidak mengabulkannya. Allah memberikan akses khusus terkabulkan do’a ibu setiap saat, sepanjang umur hidupnya, selama tidak berbuat dosa besar. Do’a baik orang tua menjadi sebuah keniscayaan bahwa kemungkinan besar akan terjadi. Pun sebaliknya, do’a buruk terhadap si anak pun menjadi sebuah keniscayaan untuk terjadi. Namun betapa ibu adalah orang yang sabar lagi bijak, menyikapi dan mengambil langkah dalam berdo’a hanya untuk kebaikan buah hatinya. Karena ibu paham potensi do’a yang pasti terkabul pun menjadi senjata berbahaya sejak do’a akan keburukan itu baru saja terlntas dalam benaknya sepersekian detik.

Akhirnya, inilah sebagian kecil bentuk cinta Allah kepada kita umumnya sebagai seorang anak, dan khususnya sebagai seorang ibu yang sungguh dimuliakan Allah dan Rasul-Nya. Allah mencintai kita bukan dari melimpahruahnya harta kita, bukan dari berapa harta yang kita miliki, bukan dari nafas yang sampai detik ini kita nikmati. Namun kehadiran seorang ibu lah beserta segala kelebihannya merupakan bukti kecintaan Allah kepada kita tak terkecuali. Dan sungguh disayangkan apabila seorang ibu telah dipanggil Rabb-nya, menjadikan satu kunci kenikmatan sekaligus kenikmatan seorang anak itu sendiri telah hilang selama-lamanya. (maw)


Saturday, October 28, 2017

JIWA PEMUDA INDONESIA: TERKINI DAN TERDAHULU, BERANI BERSATU

Pemuda Indonesia Berani Bersatu” (Kemenpora RI, 2017).

Assalamu’alaykum, Pembaca. Syukur alkhamdulillah, Allah masih memberikan kesempatan kepada kita untuk sekali lagi berada pada puncak atau minimal turut merasakan semangat para pemuda. Ya, tentunya momentum Sumpah Pemuda pada hari Sabtu (28/10) ini turut menjadi charger semangat kita.

Tak sejengkal tanah pada dunia di genggaman tangan Pembaca sekalian kecuali sudah dipenuhi dengan bibit-bibit jasmerah melalui ceritera perjuangan poetra dan poetri Indonesia terdahulu, peran penting pemuda yang disebut oleh salah satu Founding Father mampu mengguncang dunia, hingga tantangan dan pesan perjuangan kekinian terhadap pemoeda jaman now. Pun, pemerintah melalui Kemenpora dengan tegas mengusung big concept “Pemuda Indonesia Berani Bersatu” untuk menjadikan ledakan semangat ini sebagai suplai energi penguat dan penjaga keutuhan serta kemajuan NKRI.

Bukan sebaliknya, ledakan yang membumihanguskan NKRI dari sel yang terkecil yaitu diri kita sendiri, dengan contoh riil adalah berani bersatu menebar kebencian terhadap saudara sendiri terlebih saudara seiman, berani bersatu unjuk kekuatan atas nama penjagaan tradisi (yang negatif), hingga berani bersatu unjuk diri kaum yang dulu merasa teraniaya namun tetap sabar menunggu permintaan maaf serta pengakuan atas nama hak asasi dan eksistensinya yang tidak membahayakan.

Ledakan semangat tersebut sejatinya tidak hanya muncul pada momentum Sumpah Pemuda saja, karena pemuda memang identik dengan semangat menggelora, penyadaran kompetensi, pengakuan diri, aktualisasi diri, dan sebagainya, di berbagai waktu dan kondisi. Buah dari semangat tersebut cukuplah membenarkan bahwa pemuda berpotensi mengguncang dunia: semangat dalam pembinaan diri, berbakti kepada orang tua, peduli dengan kerabat serta sahabat, pemuda prestatif akademik, pemuda aktivis keagamaan, pemuda aktivis kepartaian, pemuda aktivis peduli bencana, komunitas pemuda sosiopreneur, komunitas pemuda pembina kaum marginal dan anjal, komunitas pemuda pejuang daerah 3T, komunitas pemuda pejuang 1000 Startup, hingga sekaliber aliansi pemuda pejuang anti reklamasi, aliansi pemuda pejuang anti korupsi, aliansi pemuda peduli kinerja pemerintah, dan sebagainya. Ya, pemuda jaman now sudah berani bersatu menghadirkan dirinya sebagai garda terdepan, analis, sekaligus problem solver di tengah masyarakat.

Pembaca yang terhormat, namun kemudian menjadi pertanyaan adalah sejauh mana analisis dan problem solving yang ditawarkan oleh pemuda. Mengingat pernyataan seorang tokoh pendidikan nasional yang menyatakan bahwa “Anak muda memang minim pengalaman, maka dari itu mereka tak tawarkan masa lalu, mereka menawarkan masa depan”. Ya, pemuda terkini memang minim pengalaman karena terlahir setelah pemuda terdahulu, sebuah konsekuensi logis, faktor U. Analisis dan problem solving tentu sejalan dengan pengalaman, tapi tetap saja semangat tak akan terbendung maupun surut seiring dengan kesadaran kurangnya pengalaman diri. 

Riskan itu manakala negeri dinaungi oleh beragam masalah sedangkan yang berwenang kurang atau bahkan tidak memberikan prioritas serta arahan yang jelas, siapa dan masalah apa yang akan diselesaikan terlebih dahulu. Kurangnya prioritas dan arahan pada umumnya juga dibumbui dengan gebrakan nama yang persuasif seperti gerakan seratus X, gerakan seribu Y, gerakan sejuta Z, dan seterusnya, sekaligus bumbu utama berupa sekian lembar kertas atau cek bernominal untuk Leading Innovation dari arah yang tak terduga, nyatanya sukses menggaet hati para pemuda yang rindu akan aktualisasi dan kontribusi, tanpa mengesampingkan niat baik untuk berdharma bakti pada negeri.

Disebut dari arah yang tak terduga karena hal yang rumit nan canggih lagi kekinian bisa jadi kalah dengan hal yang sederhana namun sesuai kebutuhan masyarakat lagi terjangkau, atau bahkan sebaliknya. Ibaratnya penggunaan energi dari ledakan tersebut kurang efisien, mungkin akan bertahan jangka pendek, tanpa menafikkan sedikitpun kebermanfaatan yang pasti ada.

Pembaca yang terhormat, betapa besar dan beragamnya potensi pemuda, bukan berarti pemuda harus menemukan, menganalisis, dan memecahkan masalah dengan kemampuannya sendiri. Memang benar bahwa pengalaman akan berkembang seiring bertambahnya temuan masalah, komprehensifnya analisis, hingga solusi yang tepat guna, manakala itu dilakukan langsung oleh pemuda. Hal tersebut agaknya menjadi dalil wajib bagi para pemuda terdahulu untuk tega dan segan “melepas” pemuda terkini atas nama kedewasaan dan kemandirian. Maupun dengan dalil demi tercapainya kualitas pemuda terkini yang diharapkan sama dengan atau bahkan lebih dari kualitas pemuda terdahulu yang mengaku telah melewati masa-masa sulit dijamannya hingga menjadi “orang” sekarang.

Riskan itu manakala pemuda terdahulu sukses bernostalgia dengan perjuangannya jaman dahulu ketika ditanya masalah, analisis, dan solusi oleh pemuda terkini, dijaman ini. Riskan itu manakala pemuda terdahulu sukses membuat sistem yang berjalan sempurna jaman dahulu ketika ditanya menyoal sistem yang hendak dikembangkan oleh pemuda terkini, dijaman ini. Riskan itu manakala pemuda terdahulu menyatakan bahwa perjuangannya kini telah usai maka sekarang giliran pemuda penerus, ketika mendapat ajakan oleh pemuda terkini, dijaman ini. Riskan itu manakala pemuda terdahulu sukses meyakini, menginternalisasikan, dan mengimplementasikan secara penuh dalil wajib yang penulis sampaikan diatas, ketika berhadapan dengan pemuda terkini, dijaman ini.

Dari kesemuanya, kemudian muncul hal yang lebih riskan yaitu manakala pemuda terkini sudah tidak percaya, tidak berkenan untuk menganggap penting pemuda terdahulu, tidak ingin menimba ilmu darinya. Padahal pemuda terdahulu merupakan kunci sekaligus penyempurna kelemahan atau kekurangan pemuda terkini, yaitu pengalaman.

Ketidakpercayaan tersebut tak jarang kembali membuat geram para pemuda terdahulu yang merasa tidak dipedulikan, tidak dihormati, tidak dianggap berkontribusi, dianggap sudah tidak relevan, dan sebagainya. Laiknya lingkaran syaithan, satu bermasalah, maka yang lainpun kena getahnya, hingga getah tersebut kembali pada yang memulai masalah. Bukan lagi salah pemuda terkini, pun bukan salah pemuda terdahulu, atau memang salah keduanya. Perlunya kesadaran diri masing-masing, meskipun alangkah baiknya pemuda terdahulu semangat memberikan contoh atau teladan yang baik.

Seorang tokoh muslim dari kalangan Shahabat, Ali bin Abi Thalib, menyatakan “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan jamannya, karena mereka bukan hidup dijamanmu”. Pembaca, secara tekstual memang ditujukan untuk anak, namun perluas wawasan kita. Tidak hanya sebatas orang tua (ibu-bapak) terhadap anak, namun berlaku juga untuk kakak terhadap adik kandung, kakak terhadap adik angkatan meskipun hanya berbeda 1 generasi, pimpinan terhadap stafnya meskipun hanya  berbeda 1 generasi, apalagi dengan yang jarak antar generasi cukup jauh. Karena berbeda 1 generasi pun tak menutup kemungkinan akan berbeda kondisi. Sejatinya hanya menyoal siapa yang lebih dulu lahir dan siapa berikutnya. Meskipun kita sama-sama familiar dengan istilah Baby Boomers, Gen X, Gen Y, Gen Z, Gen Alpha, dan sebagainya.

Maka, alangkah baiknya apabila pemuda terdahulu turut bersatu dengan pemuda terdahulu yang lain, yang sama-sama berpengalaman. Suksesnya nostalgia kita hanya sebagai teladan bagaimana pemuda terkini harus semangat berjuang. Selebihnya, pemuda terdahulu tetap memiliki kewajiban untuk mendidik pemuda terkini, dijaman ini, sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, harus kembali berjuang untuk menilik balik atau me-review perkembangan jaman lintas generasi. Pemuda terdahulu tidak perlu khawatir, ragu, atau gengsi untuk belajar dari pemuda terkini terkait jamannya. Apabila ada kesalahan atau ketidakberkenanan kita terhadap pemuda terkini, maka dipastikan itu merupakan buah dari keengganan pemuda terdahulu untuk berbagi ilmu maupun memberikan teladan.

Akhirnya, pemuda itu bukanlah yang memang usia muda, luaskan wawasan kita bahwa pemuda itu merupakan JIWA, yang sah-sah saja dimiliki oleh semua kalangan, semua umur, kapanpun, dimanapun. Buktikan bahwa pemuda terdahulu tetap memiliki jiwa pemuda terkini untuk mampu berjuang dijaman ini. Buktikan bahwa pemuda terdahulu merupakan sebenar-benar teladan. Ketika kelak pemuda terkini menjadi pemuda terdahulu, Penulis berkeyakinan kuat bahwa pemuda terkini di masa depan kelak minimal akan melakukan hal yang sama kepada pemuda terkini di masa depan, dan begitulah seterusnya. Inilah sebenar-benar era kolaboratif untuk menyongsong era dengan tantangan yang jauh lebih rumit.

Penulis memohon maaf karena dalam kepenulisan lebih bersifat subjektif sehingga mungkin ada hal/ pemikiran/ konsep yang kurang berkenan. Saling mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran. Saran yang membangun selalu dinantikan untuk terus memperluas wawasan kita bersama.

Wassalamu’alaykum, Pembaca. 

Sunday, June 11, 2017

MEREKA YANG “PAHAM”, “TIDAK PAHAM”, DAN HADIRNYA “MANTAN”

Berhenti menutup mata, mulailah berbagi rasa. Berhenti menutup diri, mulailah memberi arti. Act now!” (Class Mild, 2013).

Sebuah kalimat yang sarat makna nan mudah dipahami. Sebuah kalimat nan persuasif yang mengajak kita untuk mengaktualisasikan diri. Sebuah kalimat yang terucap bukan dari seorang ahli kesehatan, pemerhati kesehatan, pemerintah, bahkan sekelas motivator, melainkan terucap dari seorang yang “paham” benar betapa manusia butuh asupan semangat baik secara tindakan maupun verbal. Bukan rahasia umum manakala sesuatu yang penting pasti disampaikan berulang kali, begitu juga mereka yang “paham” secara kontinyu memberikan pesan kehidupan tersebut setiap hari. Namun sungguh disayangkan, mereka yang “paham” justru duduk di kursi dan meja kerja yang tidak tepat, menuangkan gagasan pada kertas yang tidak tepat, pun membawa kepentingan yang tersembunyi dibalik sebuah pesan kehidupan. Kepentingan yang mampu terlindungi oleh karena kontribusinya pada perekonomian dan ketenagakerjaan suatu bangsa cukup bermakna. Kepentingan yang tiada lagi selain bisnis dan pengerusakan suatu bangsa itu sendiri. Kepentingan yang lambat laun memaksa mereka yang “tidak paham” untuk menerima sepenuhnya atau melawan semampunya.

Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin” (PP no 13 tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan). Banyak riset tak terbantahkan yang mendasari munculnya kebijakan tersebut. Zat berbahaya dalam rokok terbukti berpotensi besar membawa kita pada kondisi tersebut. Perlu kita apresiasi salah satu perlawanan mereka yang “tidak paham” dengan cara menuliskan tulisan tersebut pada kemasan rokok, berharap sebuah keajaiban terjadi pada triliyunan sel otak para penikmat rokok setelah membacanya. Sungguh disayangkan, tulisan yang informatif namun tak cukup kuat mencapai taraf persuasif. Tulisan yang menakut-nakuti sebagian kalangan sekaligus menggerakkan sebagian kalangan yang lain untuk menantang rasa takut yang ada. Sekalipun ada denda secara materiil berupa denda uang ketika merokok di tempat yang tak seharusnya itupun tak menyurutkan semangat para penikmat rokok. Rasanya bisa dimaklumi seiring dengan ketidaktegasan sang pembuat kebijakan, manakala mulut tidak lagi sejalan dengan tindakan.

Masyarakat yang “tidak paham” pun tak tinggal diam. Muncullah gagasan “No Tobacco Day”, hari tanpa tembakau maupun rokok. Sebuah momen mendunia dimana masyarakat melawan dan menumpahkan ketidaksetujuannya terhadap rokok bahkan penikmatnya. Ketidaksetujuan tersebut disampaikan melalui orasi dan ajakan untuk tidak merokok. Dituliskan melalui poster dengan gambar yang cukup menakutkan seperti asap tengkorak, gigi yang rusak, kanker saluran nafas atas, bahkan paru yang menghitam dan membusuk, sejalan dengan tulisan yang digagas pemerintah. Bahkan dengan totalitas ada sebagian aksi mendatangi penikmat rokok, menjelaskan berbagai hal seputar rokok, lalu rokok tersebut digantikan dengan makanan, minuman, atau minimal dengan sebungkus bunga mawar nan cantik untuk menggantikan kenikmatan rokok. Patut apresiasi perlawanan sekaligus kepedulian mereka yang “tidak paham” karena mau memahami, meski hanya sehari. Sungguh disayangkan, laiknya bunga mawar cantik, sungguh cepat layu, sejalan dengan berakhirnya momen No Tobacco Day. Mereka yang “tidak paham” kembali pada rutinitas masing-masing dan berjalan bak angin berlalu mendiamkan para penikmat rokok yang mungkin tanpa kita sadari hatinya mulai terketuk.

“Berhenti menutup mata, mulailah berbagi rasa”. Bukan berarti harus ikut menjadi penikmat rokok hanya untuk bisa berbagi rasa. Namun, menghadirkan diri tanpa berbekal orasi maupun poster nan menakutkan. Menghadirkan diri yang siap mendampingi bukan menghina, berbagi pesan kehidupan bukan mendakwa, mengajari bukan melarang, sebagai teman seutuhnya bukan sebagai Tuhan yang Mahabenar dan Mahasempurna.“Berhenti menutup diri, mulailah memberi arti”. Bukan berarti harus bergabung seutuhnya dengan penikmat rokok hanya untuk berani memberi arti. Namun, menghadirkan diri tanpa pola pikir bahwa penikmat rokok adalah penikmat dosa yang kelak akan menyesal dengan sendirinya. Menghadirkan diri yang mau memahami pesan kehidupan yang kerap dibutuhkan para penikmat rokok. Bagi kita yang “tidak paham”, pasti akan susah karena mungkin kita masih menutup mata dan menutup diri. Namun, ada kalangan yang sejatinya paham sembari berharap No Tobacco Day dapat diperingati setiap hari. Ada kalangan yang mampu memahami pesan kehidupan dan tidak sedang terikat dengan bisnis maupun kepentingan. Mereka adalah mantan penikmat rokok.


Akhirnya, “Act now!”. Era kekinian identik dengan semangat memperjuangkan eksistensi diri, semangat persatuan, semangat peduli, dan memperbaiki kondisi bangsa melalui kemunculan berbagai komunitas, merupakan suatu masa yang cukup berpotensi. Untuk melawan penikmat rokok, maka hadirkan mantan penikmat rokok. Untuk melawan mereka yang duduk di tempat yang tidak seharusnya, hadirkan mantan penikmat rokok untuk duduk bermusyawarah mengonsep pesan kehidupan. Untuk melawan pesan kehidupan semu, hadirkan mantan penikmat rokok sebagai pembawa pesan. Untuk melawan kontinyuitas pesan semu, hadirkan mantan penikmat rokok yang komitmen mendampingi secara riil dan kontinyu mengetuk hati hingga terbuka. Untuk melawan kepentingan semu, hadirkan mantan penikmat rokok yang mewakili kepentingan ummat. Hadirkan mantan penikmat rokok disetiap seminar kesehatan, disetiap diskusi strategis, disetiap sosialisasi kesehatan, disetiap sudut wilayah, disetiap momen temu warga. Hadirkan mantan penikmat rokok bukan sebagai pendosa, melainkan sebagai yang paling siap berbagi rasa dan memberi arti.

Sunday, July 24, 2016

AKHIRI (HALUSNYA) KEKERASAN PADA ANAK

Akhiri Kekerasan pada Anak” (KPPPA, 2016).

Assalamu’alaykum, Pembaca. Syukur alkhamdulillah atas limpahan nikmat-Nya sedari awal kita diijinkan terlahir di dunia melalui seorang ibu, menjadi seorang bayi, anak-anak, dewasa, bahkan hingga seusia Pembaca sekalian ketika membaca kalimat ini, berapapun itu. Alkhamdulillah telah memasuki sekitar pekan ke-3 bulan Syawal 1437H, jangan lupa menunaikan tanggung jawab dan semoga segera bisa menunaikan ibadah “plus-plus” spesial only in bulan Syawal. Penulis juga mengucapkan selamat Hari Anak Nasional 2016 tertanggal 23 Juli kemarin. Semangat mengakhiri kekerasan pada anak muncul seiring dengan maraknya tindakan kriminalitas, tindakan asusila, dan berbagai tindakan yang berdampak buruk terhadap anak, kini dan nanti.

Sebut saja fenomena, bagaimana hidup seorang anak yang overdosis lemak karena tidak terkontrol baik oleh keluarganya? Bagaimana kisah tragis seorang anak dan kerabatnya hingga diangkat menjadi sebuah film siap rilis? Bagaimana kesehatan segelintir anak yang tak segan menghirup batangan racun oleh karena lingkungannya? Bagaimana kisah memilukan tindakan amoral seorang guru terhadap penerus bangsanya? Betapa malangnya ketika anak menjadi korban lingkungan bahkan keluarganya sendiri.

Pembaca yang terhormat, namun apakah anak selalu menjadi korban? Sejatinya, tidak, karena anak pun menjadi pelakunya, seperti saat penulis mengawali tulisan dengan pernyataan “..kita diijinkan terlahir.. menjadi seorang bayi.. anak-anak..”. Sejatinya, semua dari kita, siapapun itu, adalah seorang anak dari kedua orang tua kita. Berapapun usia kita, tetaplah seorang anak. Berapapun anak yang kita miliki, kita tetap seorang anak. Pun ketika dua orang terdekat telah mendahului, kita tetap seorang anak. Kalau pada suatu acara televisi, bisa diibaratkan SU (semua umur). Dan kekerasan tidak hanya dengan model kasar secara kasat mata, namun juga ada yang halus tak kasat mata.

Kekerasan itu saat kita mengabaikan 3 hak. Hak pada Allah, hak pada keluarga, dan hak pada diri sendiri. Merasa tenang ketika panggilan Allah lewat sekian jam begitu saja. Merasa biasa ketika melihat keluarga asyik didepan layar televisi disaat panggilan Allah berkumandang. Merasa tidak bersalah dan kasihan bila anggota keluarga dibangunkan pagi buta untuk shalat shubuh. Merasa kuat dengan sengaja menunda makan dan istirahat pada waktunya. Lebih-lebih pada usia anak, “tapi kan tapi kan mengajari anak harus bertahap tidak boleh dipaksakan (?)”.

Kekerasan itu saat 3 cinta kita tidak muncul. Cinta pada Nabi, keluarga, dan Al-Qur’an. Rasanya cukup ketika sudah tahu tanggal kelahiran nabi, nama anggota keluarganya, nama nabi yang wajib diketahui, tanpa mau tahu apa yang mereka ajarkan, liku kehidupan seperti apa yang mereka alami, bagaimana bijaknya pengambilan keputusan yang mereka contohkan baik lisan maupun perbuatan. Rasanya cukup ketika pengabdian terhadap keluarga pada tataran mau membantu bersih-bersih, membantu belanja, giat belajar, atau rajin ikut les-lesan, disaat yang sama melupakan adab berbicara pada orang tua, tidak paham adab bersikap pada orang tua, tidak mau memahami batasan yang sewajarnya dalam keluarga, dan sebagainya. Pun rasanya cukup ketika bisa membaca dengan lancar rangkaian huruf hijaiyah, melafalkan bacaan dengan keras dan cepat, sebatas mau membaca terjemahan bebasnya, atau tilawah hanya saat bulan Ramadhan saja, tanpa merasa kurang dalam hal hukum bacaan, ilmu dalam terjemah, adab terhadap Al-Qur’an, bahkan tidak mau tahu keutamaan tilawah Al-Qur’an. Lebih-lebih pada usia anak, “tapi kan tapi kan anak sekarang sibuk-sibuk, pelajaran dan tugasnya banyak (?)”.

Kekerasan itu saat 3 hal lebih populer. Fashion, Food, and Fun. Mengenakan celana khas rimba dengan bekas cakaran singa, baju yang kainnya tipis dan mengandung lem sehingga melekat ketat dengan tubuh, hingga penutup kepala berbagai model plus asesorisnya, nyatanya lebih populer daripada pakaian longgar bin tebal bin polos bin syar’i. Melancong dan mencoba kuliner berbagai jenis hingga kenyang melupakan 3 hal yang lain, lebih memuaskan daripada menahan diri hingga maghrib menjelang dan merasakan 2 kenikmatan tiada tara dikala itu dan nanti. Berdiri sekian jam demi bertemu penyanyi eksentrik idola kita yang kali pertama manggung diiringi lantunan kalam-kalam manusia lebih tidak melelahkan daripada duduk sekian waktu bermunajat dalam taman-taman surga yang malaikatpun mendo’akannya. Lirik dan lagu-lagu asing nun jauh dari nilai-nilai baik lebih keren daripada Kalamullah dan lantunan shalawat nabi. Hafal dan tahu nama maupun wajah pemain sinetron bermotor beradu kuda besi atau pejuang militer memadu kasih dalam drakor lebih utama daripada hafal dan tahu nama sahabat dan pejuang di jalan Allah baik laki-laki maupun perempuan yang berdarah-darah teguh membela islam. Lebih-lebih pada usia anak, “tapi kan tapi kan anak harus beradaptasi dengan jaman dan lingkungannya (?)”.

Kekerasan itu saat 3 ruangan sudah penuh sesak. Ruang untuk makanan, minuman, dan udara. Food dengan segala rahasia resepnya mampu merangsang kelenjar saliva dan otak kita untuk menerimanya, apapun kondisinya. Tidak jarang nilai gizi digadaikan demi terpenuhinya 3 ruangan ini. Bahkan mungkin lupa bahwa seburuk-buruk tempat adalah perut (yang tersisi penuh). Pun menolak lupa bahwa perut merupakan sumber penyakit. Lebih-lebih pada usia anak, “tapi kan tapi kan anak dalam usia pertumbuhan membutuhkan nutrisi yang banyak (?)”.

Kekerasan dalam bentuk lain yang lebih halus, seperti saat beberapa guru dilaporkan bahkan dibui dengan mudahnya. Tidak menghiraukan guru berbicara, biasa. Bertindak semena-mena terhadap guru, take a selfie. Berani cerita kepada orang tua atas kekejaman guru, merasa jujur dan bangga. Giliran ditegur sedikit karena ketidaksengajaan, down. Giliran dihukum sedikit karena ketidakdisiplinan, menangis. Giliran mendapat perhatian lebih, sigap lapor penegak hukum dan komisi perlindungan. Giliran sukses masuk televisi, minta damai dan pengampunan. Padahal betapa pentingnya adab orang yang belajar terhadap orang yang mengajarinya, murid terhadap guru. Lebih-lebih pada usia anak, “tapi kan tapi kan anak harus diperlakukan dan diajarkan hal baik oleh gurunya (?)”.

Kekerasan yang halus itu saat “nilaimu berapa?”. Belajar apa? IPA, IPS, bahasa inggris. Nilainya berapa? 80, 90, 100, “wah pintar ya, pasti juara kelas dan masa depannya bagus”. Belajar apa? Matematika. Nilainya berapa? 75, 50, 40, “mau jadi apa kamu? Les sana! Atau mending tidak usah sekolah, memalukan”. Belajar apa? pendidikan kewarganegaraan, bimbingan konseling, pendidikan agama. Nilainya berapa? 80, 100, “mudah kan ya? Ndak usah belajar susah-susah, matematikamu itu tingkatkan”. Nilainya berapa? 70, 50, 30, “oh tidak apa-apa memang ilmunya susah, abstrak, kembali kepribadi masing-masing”. Input belajar matematika, output nilai matematika. Input belajar IPA, output nilai IPA. Input belajar PKn, output nilai PKn. Input belajar agama, output nilai agama. Bukan bagaimana keterkaitan, urgensi, dan nilai praktis antara matematika, IPA, PKn, agama, dan sebagainya untuk kemaslahatan/ kemanfaatan umat. Bukan pula bagaimana ilmu agama sejatinya tidak terpisah dari ilmu lainnya. Lebih-lebih pada usia anak, “tapi kan tapi kan gimanapun anak nilainya harus bagus supaya lulus (?)”.

Dan, masih banyak kekerasan lainnya yang lebih halus. Pembaca yang terhormat, akhiri kekerasan pada anak! Ya, pada anak, yaitu pada diri kita terlebih dahulu, mulai dari diri kita dahulu. Kekerasan yang kerap kita lakukan pada diri sendiri tentu akan membawa dampak bagi diri dan sekeliling. Hak terhadap Allah, keluarga, masyarakat, anak-anak, bahkan diri kita sendiri, apabila tidak terpenuhi tentu menjadikan sesuatu yang ada dalam tubuh ini menjadi keras. Sekeras batu. Bahkan tidak dimungkiri Allah akan benar-benar mengeraskan sesuatu itu, yang tiada nur bisa menembus kecuali dengan ijin-Nya. Yang lebih fatal adalah ketika kerasnya sesuatu itu menjadi awal dari kekerasan yang kasat mata membahayakan secara langsung, dan Allah benar-benar telah menutup sesuatu yang disebut dengan “hati”. Naudzubillah.


Akhir kata, penulis mohon maaf atas segala kesahalan informasi, tulisan, maupun hal yang mungkin menyinggung hati, karena penulis tak lebih baik dari Pembaca. Penulis memohon saran, kritikan, maupun ide yang membangun. Penulis pun sebagai seorang kakak, calon orang tua, pengajar serta pendamping bagi adik-adik, bahkan sebagai anak, mengakui masih juga melakukan kekerasan yang halus tersebut. Namun sebaik-baik manusia adalah yang mengingatkan akan kebenaran dan kesebaran, yang berlomba-lomba dalam kebaikan, serta bertaqwa pada Allah ta’ala. Karena masuk surga enaknya bareng-bareng. Akhirul kalam, wassalau’alaykum, Pembaca.

Sunday, July 10, 2016

SEBUAH POTRET ANTIMUBADZIR: MAKAN HABIS DAN PIRING KOSONG

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah disetiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (QS. Al A’raaf: 31).


Assalamu’alaykum, Pembaca. Syukur alkhamdulillah selalu terucap dari hati yang semoga masih diberikan hidayah untuk mengingat-Nya hingga hari ke-5 bulan Syawal ini. Yuk, katakan alkhamdulillah yang sudah mulai menunaikan tanggung jawab qada’ puasanya. Yuk, katakan alkhamdulillah yang sudah mulai puasa sunnah Syawal. Yuk, azzamkan atau tekadkan atau bahkan niatkan diri ini untuk dapat menyegerakan kedua hal tersebut bagi yang belum. 5 hari terlalui tentu dengan kebahagiaan karena “kembali boleh makan”. Hidangan spesial ala lebaran di Indonesia seperti aneka kue kering, beragam jajanan kaleng, sepanci ketupat sayur, seonggok daging ayam berbalur rempah, aneka warna dan rasa minuman, pasti membuat Pembaca sekalian #Opordosis. Kebahagiaan dari perut yang telah terenggut selama sebulan, meningkat drastis hanya dalam 1 hari. Tak lupa, perut memberikan #KodeKeras ke otak, tangan, dan mulut kita, bahwa diri ini sanggup menerima sekian banyak hidangan tersebut, seakan sanggup menghabiskannya. Alhasil, piring pun overload laiknya tol Brexit dan menggunung laiknya tempat pembuangan akhir. Namun sebuah akhir yang dramatis saat sekian sendok nasi, sekian liter kuah, sekian kilogram daging, harus mati (baca: terbuang) sia-sia karena ketidakmampuan perut kita sendiri.


Pembaca yang terhormat, menilik fenomena tersebut, cukup relevan dengan potongan ayat Al-Qur’an dari surat Al A’raaf. Betapa kita memang dapat berlebih-lebihan salah satunya dalam hal makan dan minum. Kalamullah surat Al-Israa’ ayat 27 disebutkan bahwa para pemboros merupakan saudara dari syaithan. 2 ayat yang insyaaAllah membuat kita cukup paham betapa bermaknanya segala hal (makanan dan minuman) yang mati (terbuang) sia-sia tadi.


Disisi lain insyaaAllah ada segolongan umat yang telah sadar atau paham, yang mencoba mengajak saudaranya untuk tidak bersaudara dengan syaithan terus-menerus. Segolongan umat yang berusaha menghabiskan makanan yang diambilnya, atau berusaha membatasi makanan yang hendak dikonsumsi sesuai kemampuan normalnya. Please wellcome spesial hastag #BeraniMakanHabis #PotretPiringKosong sebagai wujud Kampanye Antimubadzir.


Simply, pastikan di dalam piring, gelas, maupun wadah makan yang Anda pakai benar-benar hampir habis atau tidak tersisa sedikitpun kecuali yang nampak (noda, dll). Lalu potret dan beri hastag spesial tersebut. Niatkan diri sebenar mungkin lillahi ta’ala sebagai salah satu tanggung jawab reminder utamanya bagi diri sendiri dan umumnya bagi orang lain untuk tidak mubadzir. Lalu viralkan melalui media sosial. Sebuah kampanye antimainstream yang tidak hanya berlaku sekian hari pascaramadhan, namun juga untuk keseharian kita antara ramadhan kemarin dengan ramadhan berikutnya, insyaaAllah.



Penulis mohon maaf atas segala kesalahan yang mungkin terjadi dalam setiap tulisan (barangkali banyak yang tersindir, sakit hati, bunuh diri #eh) karena penulis tidak lebih baik dari Pembaca. Pun kampanye tersebut bukanlah inisiatif atau ide dari penulis, jadi jangan salah sangka. Penulis hanya menyampaikan fenomena yang ada. Saling mengingatkan dalam kesabaran dan kebenaran, saling berlomba dalam kebaikan, karena masuk surga enaknya rame-rame. Taqabbalallahu minna wa minkum, Pembaca, semoga amal ibadah kita saat ramadhan kemarin diterima oleh Allah dan kita dipertemukan dengan ramadhan berikutnya, Allahumma aamiin. Wassalamu’alaykum.