Sunday, July 24, 2016

AKHIRI (HALUSNYA) KEKERASAN PADA ANAK

Akhiri Kekerasan pada Anak” (KPPPA, 2016).

Assalamu’alaykum, Pembaca. Syukur alkhamdulillah atas limpahan nikmat-Nya sedari awal kita diijinkan terlahir di dunia melalui seorang ibu, menjadi seorang bayi, anak-anak, dewasa, bahkan hingga seusia Pembaca sekalian ketika membaca kalimat ini, berapapun itu. Alkhamdulillah telah memasuki sekitar pekan ke-3 bulan Syawal 1437H, jangan lupa menunaikan tanggung jawab dan semoga segera bisa menunaikan ibadah “plus-plus” spesial only in bulan Syawal. Penulis juga mengucapkan selamat Hari Anak Nasional 2016 tertanggal 23 Juli kemarin. Semangat mengakhiri kekerasan pada anak muncul seiring dengan maraknya tindakan kriminalitas, tindakan asusila, dan berbagai tindakan yang berdampak buruk terhadap anak, kini dan nanti.

Sebut saja fenomena, bagaimana hidup seorang anak yang overdosis lemak karena tidak terkontrol baik oleh keluarganya? Bagaimana kisah tragis seorang anak dan kerabatnya hingga diangkat menjadi sebuah film siap rilis? Bagaimana kesehatan segelintir anak yang tak segan menghirup batangan racun oleh karena lingkungannya? Bagaimana kisah memilukan tindakan amoral seorang guru terhadap penerus bangsanya? Betapa malangnya ketika anak menjadi korban lingkungan bahkan keluarganya sendiri.

Pembaca yang terhormat, namun apakah anak selalu menjadi korban? Sejatinya, tidak, karena anak pun menjadi pelakunya, seperti saat penulis mengawali tulisan dengan pernyataan “..kita diijinkan terlahir.. menjadi seorang bayi.. anak-anak..”. Sejatinya, semua dari kita, siapapun itu, adalah seorang anak dari kedua orang tua kita. Berapapun usia kita, tetaplah seorang anak. Berapapun anak yang kita miliki, kita tetap seorang anak. Pun ketika dua orang terdekat telah mendahului, kita tetap seorang anak. Kalau pada suatu acara televisi, bisa diibaratkan SU (semua umur). Dan kekerasan tidak hanya dengan model kasar secara kasat mata, namun juga ada yang halus tak kasat mata.

Kekerasan itu saat kita mengabaikan 3 hak. Hak pada Allah, hak pada keluarga, dan hak pada diri sendiri. Merasa tenang ketika panggilan Allah lewat sekian jam begitu saja. Merasa biasa ketika melihat keluarga asyik didepan layar televisi disaat panggilan Allah berkumandang. Merasa tidak bersalah dan kasihan bila anggota keluarga dibangunkan pagi buta untuk shalat shubuh. Merasa kuat dengan sengaja menunda makan dan istirahat pada waktunya. Lebih-lebih pada usia anak, “tapi kan tapi kan mengajari anak harus bertahap tidak boleh dipaksakan (?)”.

Kekerasan itu saat 3 cinta kita tidak muncul. Cinta pada Nabi, keluarga, dan Al-Qur’an. Rasanya cukup ketika sudah tahu tanggal kelahiran nabi, nama anggota keluarganya, nama nabi yang wajib diketahui, tanpa mau tahu apa yang mereka ajarkan, liku kehidupan seperti apa yang mereka alami, bagaimana bijaknya pengambilan keputusan yang mereka contohkan baik lisan maupun perbuatan. Rasanya cukup ketika pengabdian terhadap keluarga pada tataran mau membantu bersih-bersih, membantu belanja, giat belajar, atau rajin ikut les-lesan, disaat yang sama melupakan adab berbicara pada orang tua, tidak paham adab bersikap pada orang tua, tidak mau memahami batasan yang sewajarnya dalam keluarga, dan sebagainya. Pun rasanya cukup ketika bisa membaca dengan lancar rangkaian huruf hijaiyah, melafalkan bacaan dengan keras dan cepat, sebatas mau membaca terjemahan bebasnya, atau tilawah hanya saat bulan Ramadhan saja, tanpa merasa kurang dalam hal hukum bacaan, ilmu dalam terjemah, adab terhadap Al-Qur’an, bahkan tidak mau tahu keutamaan tilawah Al-Qur’an. Lebih-lebih pada usia anak, “tapi kan tapi kan anak sekarang sibuk-sibuk, pelajaran dan tugasnya banyak (?)”.

Kekerasan itu saat 3 hal lebih populer. Fashion, Food, and Fun. Mengenakan celana khas rimba dengan bekas cakaran singa, baju yang kainnya tipis dan mengandung lem sehingga melekat ketat dengan tubuh, hingga penutup kepala berbagai model plus asesorisnya, nyatanya lebih populer daripada pakaian longgar bin tebal bin polos bin syar’i. Melancong dan mencoba kuliner berbagai jenis hingga kenyang melupakan 3 hal yang lain, lebih memuaskan daripada menahan diri hingga maghrib menjelang dan merasakan 2 kenikmatan tiada tara dikala itu dan nanti. Berdiri sekian jam demi bertemu penyanyi eksentrik idola kita yang kali pertama manggung diiringi lantunan kalam-kalam manusia lebih tidak melelahkan daripada duduk sekian waktu bermunajat dalam taman-taman surga yang malaikatpun mendo’akannya. Lirik dan lagu-lagu asing nun jauh dari nilai-nilai baik lebih keren daripada Kalamullah dan lantunan shalawat nabi. Hafal dan tahu nama maupun wajah pemain sinetron bermotor beradu kuda besi atau pejuang militer memadu kasih dalam drakor lebih utama daripada hafal dan tahu nama sahabat dan pejuang di jalan Allah baik laki-laki maupun perempuan yang berdarah-darah teguh membela islam. Lebih-lebih pada usia anak, “tapi kan tapi kan anak harus beradaptasi dengan jaman dan lingkungannya (?)”.

Kekerasan itu saat 3 ruangan sudah penuh sesak. Ruang untuk makanan, minuman, dan udara. Food dengan segala rahasia resepnya mampu merangsang kelenjar saliva dan otak kita untuk menerimanya, apapun kondisinya. Tidak jarang nilai gizi digadaikan demi terpenuhinya 3 ruangan ini. Bahkan mungkin lupa bahwa seburuk-buruk tempat adalah perut (yang tersisi penuh). Pun menolak lupa bahwa perut merupakan sumber penyakit. Lebih-lebih pada usia anak, “tapi kan tapi kan anak dalam usia pertumbuhan membutuhkan nutrisi yang banyak (?)”.

Kekerasan dalam bentuk lain yang lebih halus, seperti saat beberapa guru dilaporkan bahkan dibui dengan mudahnya. Tidak menghiraukan guru berbicara, biasa. Bertindak semena-mena terhadap guru, take a selfie. Berani cerita kepada orang tua atas kekejaman guru, merasa jujur dan bangga. Giliran ditegur sedikit karena ketidaksengajaan, down. Giliran dihukum sedikit karena ketidakdisiplinan, menangis. Giliran mendapat perhatian lebih, sigap lapor penegak hukum dan komisi perlindungan. Giliran sukses masuk televisi, minta damai dan pengampunan. Padahal betapa pentingnya adab orang yang belajar terhadap orang yang mengajarinya, murid terhadap guru. Lebih-lebih pada usia anak, “tapi kan tapi kan anak harus diperlakukan dan diajarkan hal baik oleh gurunya (?)”.

Kekerasan yang halus itu saat “nilaimu berapa?”. Belajar apa? IPA, IPS, bahasa inggris. Nilainya berapa? 80, 90, 100, “wah pintar ya, pasti juara kelas dan masa depannya bagus”. Belajar apa? Matematika. Nilainya berapa? 75, 50, 40, “mau jadi apa kamu? Les sana! Atau mending tidak usah sekolah, memalukan”. Belajar apa? pendidikan kewarganegaraan, bimbingan konseling, pendidikan agama. Nilainya berapa? 80, 100, “mudah kan ya? Ndak usah belajar susah-susah, matematikamu itu tingkatkan”. Nilainya berapa? 70, 50, 30, “oh tidak apa-apa memang ilmunya susah, abstrak, kembali kepribadi masing-masing”. Input belajar matematika, output nilai matematika. Input belajar IPA, output nilai IPA. Input belajar PKn, output nilai PKn. Input belajar agama, output nilai agama. Bukan bagaimana keterkaitan, urgensi, dan nilai praktis antara matematika, IPA, PKn, agama, dan sebagainya untuk kemaslahatan/ kemanfaatan umat. Bukan pula bagaimana ilmu agama sejatinya tidak terpisah dari ilmu lainnya. Lebih-lebih pada usia anak, “tapi kan tapi kan gimanapun anak nilainya harus bagus supaya lulus (?)”.

Dan, masih banyak kekerasan lainnya yang lebih halus. Pembaca yang terhormat, akhiri kekerasan pada anak! Ya, pada anak, yaitu pada diri kita terlebih dahulu, mulai dari diri kita dahulu. Kekerasan yang kerap kita lakukan pada diri sendiri tentu akan membawa dampak bagi diri dan sekeliling. Hak terhadap Allah, keluarga, masyarakat, anak-anak, bahkan diri kita sendiri, apabila tidak terpenuhi tentu menjadikan sesuatu yang ada dalam tubuh ini menjadi keras. Sekeras batu. Bahkan tidak dimungkiri Allah akan benar-benar mengeraskan sesuatu itu, yang tiada nur bisa menembus kecuali dengan ijin-Nya. Yang lebih fatal adalah ketika kerasnya sesuatu itu menjadi awal dari kekerasan yang kasat mata membahayakan secara langsung, dan Allah benar-benar telah menutup sesuatu yang disebut dengan “hati”. Naudzubillah.


Akhir kata, penulis mohon maaf atas segala kesahalan informasi, tulisan, maupun hal yang mungkin menyinggung hati, karena penulis tak lebih baik dari Pembaca. Penulis memohon saran, kritikan, maupun ide yang membangun. Penulis pun sebagai seorang kakak, calon orang tua, pengajar serta pendamping bagi adik-adik, bahkan sebagai anak, mengakui masih juga melakukan kekerasan yang halus tersebut. Namun sebaik-baik manusia adalah yang mengingatkan akan kebenaran dan kesebaran, yang berlomba-lomba dalam kebaikan, serta bertaqwa pada Allah ta’ala. Karena masuk surga enaknya bareng-bareng. Akhirul kalam, wassalau’alaykum, Pembaca.

No comments:

Post a Comment