“Akhiri
Kekerasan pada Anak” (KPPPA, 2016).
Assalamu’alaykum,
Pembaca. Syukur alkhamdulillah atas
limpahan nikmat-Nya sedari awal kita diijinkan terlahir di dunia melalui
seorang ibu, menjadi seorang bayi, anak-anak, dewasa, bahkan hingga seusia
Pembaca sekalian ketika membaca kalimat ini, berapapun itu. Alkhamdulillah telah memasuki sekitar
pekan ke-3 bulan Syawal 1437H, jangan
lupa menunaikan tanggung jawab dan semoga segera bisa menunaikan ibadah “plus-plus” spesial only in bulan Syawal.
Penulis juga mengucapkan selamat Hari Anak Nasional 2016 tertanggal 23 Juli
kemarin. Semangat mengakhiri kekerasan pada anak muncul seiring dengan maraknya
tindakan kriminalitas, tindakan asusila, dan berbagai tindakan yang berdampak
buruk terhadap anak, kini dan nanti.
Sebut
saja fenomena, bagaimana hidup seorang anak yang overdosis lemak karena tidak
terkontrol baik oleh keluarganya? Bagaimana kisah tragis seorang anak dan
kerabatnya hingga diangkat menjadi sebuah film siap rilis? Bagaimana kesehatan
segelintir anak yang tak segan menghirup batangan racun oleh karena
lingkungannya? Bagaimana kisah memilukan tindakan amoral seorang guru terhadap
penerus bangsanya? Betapa malangnya ketika anak menjadi korban lingkungan
bahkan keluarganya sendiri.
Pembaca
yang terhormat, namun apakah anak selalu menjadi korban? Sejatinya, tidak,
karena anak pun menjadi pelakunya, seperti saat penulis mengawali tulisan
dengan pernyataan “..kita diijinkan
terlahir.. menjadi seorang bayi.. anak-anak..”. Sejatinya, semua dari kita,
siapapun itu, adalah seorang anak dari kedua orang tua kita. Berapapun usia
kita, tetaplah seorang anak. Berapapun anak yang kita miliki, kita tetap
seorang anak. Pun ketika dua orang terdekat telah mendahului, kita tetap
seorang anak. Kalau pada suatu acara televisi, bisa diibaratkan SU (semua umur).
Dan kekerasan tidak hanya dengan model kasar secara kasat mata, namun juga ada
yang halus tak kasat mata.
Kekerasan
itu saat kita mengabaikan 3 hak. Hak pada Allah, hak pada keluarga, dan hak
pada diri sendiri. Merasa tenang ketika panggilan Allah lewat sekian jam begitu
saja. Merasa biasa ketika melihat keluarga asyik didepan layar televisi disaat
panggilan Allah berkumandang. Merasa tidak bersalah dan kasihan bila anggota
keluarga dibangunkan pagi buta untuk shalat shubuh. Merasa kuat dengan sengaja
menunda makan dan istirahat pada waktunya. Lebih-lebih pada usia anak, “tapi kan tapi kan mengajari anak harus
bertahap tidak boleh dipaksakan (?)”.
Kekerasan
itu saat 3 cinta kita tidak muncul. Cinta pada Nabi, keluarga, dan Al-Qur’an. Rasanya
cukup ketika sudah tahu tanggal kelahiran nabi, nama anggota keluarganya, nama
nabi yang wajib diketahui, tanpa mau tahu apa yang mereka ajarkan, liku kehidupan
seperti apa yang mereka alami, bagaimana bijaknya pengambilan keputusan yang
mereka contohkan baik lisan maupun perbuatan. Rasanya cukup ketika pengabdian
terhadap keluarga pada tataran mau membantu bersih-bersih, membantu belanja,
giat belajar, atau rajin ikut les-lesan, disaat yang sama melupakan adab
berbicara pada orang tua, tidak paham adab bersikap pada orang tua, tidak mau
memahami batasan yang sewajarnya dalam keluarga, dan sebagainya. Pun rasanya
cukup ketika bisa membaca dengan lancar rangkaian huruf hijaiyah, melafalkan
bacaan dengan keras dan cepat, sebatas mau membaca terjemahan bebasnya, atau tilawah hanya saat bulan Ramadhan saja,
tanpa merasa kurang dalam hal hukum bacaan, ilmu dalam terjemah, adab terhadap
Al-Qur’an, bahkan tidak mau tahu keutamaan tilawah
Al-Qur’an. Lebih-lebih pada usia anak, “tapi
kan tapi kan anak sekarang sibuk-sibuk, pelajaran dan tugasnya banyak (?)”.
Kekerasan
itu saat 3 hal lebih populer. Fashion,
Food, and Fun. Mengenakan celana khas rimba dengan bekas cakaran singa, baju
yang kainnya tipis dan mengandung lem sehingga melekat ketat dengan tubuh,
hingga penutup kepala berbagai model plus asesorisnya, nyatanya lebih populer
daripada pakaian longgar bin tebal bin polos bin syar’i. Melancong dan mencoba kuliner berbagai jenis hingga
kenyang melupakan 3 hal yang lain, lebih memuaskan daripada menahan diri hingga
maghrib menjelang dan merasakan 2 kenikmatan tiada tara dikala itu dan nanti. Berdiri
sekian jam demi bertemu penyanyi eksentrik idola kita yang kali pertama
manggung diiringi lantunan kalam-kalam manusia lebih tidak melelahkan daripada
duduk sekian waktu bermunajat dalam taman-taman surga yang malaikatpun mendo’akannya.
Lirik dan lagu-lagu asing nun jauh dari nilai-nilai baik lebih keren daripada Kalamullah dan lantunan shalawat nabi. Hafal
dan tahu nama maupun wajah pemain sinetron bermotor beradu kuda besi atau pejuang
militer memadu kasih dalam drakor lebih utama daripada hafal dan tahu nama
sahabat dan pejuang di jalan Allah baik laki-laki maupun perempuan yang
berdarah-darah teguh membela islam. Lebih-lebih pada usia anak, “tapi kan tapi kan anak harus beradaptasi
dengan jaman dan lingkungannya (?)”.
Kekerasan
itu saat 3 ruangan sudah penuh sesak. Ruang untuk makanan, minuman, dan udara. Food dengan segala rahasia resepnya
mampu merangsang kelenjar saliva dan otak kita untuk menerimanya, apapun
kondisinya. Tidak jarang nilai gizi digadaikan demi terpenuhinya 3 ruangan ini.
Bahkan mungkin lupa bahwa seburuk-buruk tempat adalah perut (yang tersisi
penuh). Pun menolak lupa bahwa perut merupakan sumber penyakit. Lebih-lebih
pada usia anak, “tapi kan tapi kan anak
dalam usia pertumbuhan membutuhkan nutrisi yang banyak (?)”.
Kekerasan
dalam bentuk lain yang lebih halus, seperti saat beberapa guru dilaporkan
bahkan dibui dengan mudahnya. Tidak menghiraukan guru berbicara, biasa.
Bertindak semena-mena terhadap guru, take
a selfie. Berani cerita kepada orang tua atas kekejaman guru, merasa jujur
dan bangga. Giliran ditegur sedikit karena ketidaksengajaan, down. Giliran dihukum sedikit karena
ketidakdisiplinan, menangis. Giliran mendapat perhatian lebih, sigap lapor
penegak hukum dan komisi perlindungan. Giliran sukses masuk televisi, minta
damai dan pengampunan. Padahal betapa pentingnya adab orang yang belajar
terhadap orang yang mengajarinya, murid terhadap guru. Lebih-lebih pada usia
anak, “tapi kan tapi kan anak harus
diperlakukan dan diajarkan hal baik oleh gurunya (?)”.
Kekerasan
yang halus itu saat “nilaimu berapa?”.
Belajar apa? IPA, IPS, bahasa inggris. Nilainya berapa? 80, 90, 100, “wah pintar ya, pasti juara kelas dan masa
depannya bagus”. Belajar apa? Matematika. Nilainya berapa? 75, 50, 40, “mau jadi apa kamu? Les sana! Atau mending tidak
usah sekolah, memalukan”. Belajar apa? pendidikan kewarganegaraan,
bimbingan konseling, pendidikan agama. Nilainya berapa? 80, 100, “mudah kan ya? Ndak usah belajar susah-susah,
matematikamu itu tingkatkan”. Nilainya berapa? 70, 50, 30, “oh tidak apa-apa memang ilmunya susah, abstrak,
kembali kepribadi masing-masing”. Input
belajar matematika, output nilai
matematika. Input belajar IPA, output nilai IPA. Input belajar PKn, output nilai
PKn. Input belajar agama, output nilai agama. Bukan bagaimana keterkaitan,
urgensi, dan nilai praktis antara matematika, IPA, PKn, agama, dan sebagainya
untuk kemaslahatan/ kemanfaatan umat.
Bukan pula bagaimana ilmu agama sejatinya tidak terpisah dari ilmu lainnya.
Lebih-lebih pada usia anak, “tapi kan
tapi kan gimanapun anak nilainya harus bagus supaya lulus (?)”.
Dan,
masih banyak kekerasan lainnya yang lebih halus. Pembaca yang terhormat, akhiri
kekerasan pada anak! Ya, pada anak, yaitu pada diri kita terlebih dahulu, mulai
dari diri kita dahulu. Kekerasan yang kerap kita lakukan pada diri sendiri
tentu akan membawa dampak bagi diri dan sekeliling. Hak terhadap Allah,
keluarga, masyarakat, anak-anak, bahkan diri kita sendiri, apabila tidak
terpenuhi tentu menjadikan sesuatu yang ada dalam tubuh ini menjadi keras. Sekeras
batu. Bahkan tidak dimungkiri Allah akan benar-benar mengeraskan sesuatu itu,
yang tiada nur bisa menembus kecuali
dengan ijin-Nya. Yang lebih fatal adalah ketika kerasnya sesuatu itu menjadi
awal dari kekerasan yang kasat mata membahayakan secara langsung, dan Allah
benar-benar telah menutup sesuatu yang disebut dengan “hati”. Naudzubillah.
Akhir
kata, penulis mohon maaf atas segala kesahalan informasi, tulisan, maupun hal
yang mungkin menyinggung hati, karena penulis tak lebih baik dari Pembaca. Penulis
memohon saran, kritikan, maupun ide yang membangun. Penulis pun sebagai seorang
kakak, calon orang tua, pengajar serta pendamping bagi adik-adik, bahkan
sebagai anak, mengakui masih juga melakukan kekerasan yang halus tersebut.
Namun sebaik-baik manusia adalah yang mengingatkan akan kebenaran dan
kesebaran, yang berlomba-lomba dalam kebaikan, serta bertaqwa pada Allah ta’ala.
Karena masuk surga enaknya bareng-bareng. Akhirul
kalam, wassalau’alaykum, Pembaca.