Sunday, July 24, 2016

AKHIRI (HALUSNYA) KEKERASAN PADA ANAK

Akhiri Kekerasan pada Anak” (KPPPA, 2016).

Assalamu’alaykum, Pembaca. Syukur alkhamdulillah atas limpahan nikmat-Nya sedari awal kita diijinkan terlahir di dunia melalui seorang ibu, menjadi seorang bayi, anak-anak, dewasa, bahkan hingga seusia Pembaca sekalian ketika membaca kalimat ini, berapapun itu. Alkhamdulillah telah memasuki sekitar pekan ke-3 bulan Syawal 1437H, jangan lupa menunaikan tanggung jawab dan semoga segera bisa menunaikan ibadah “plus-plus” spesial only in bulan Syawal. Penulis juga mengucapkan selamat Hari Anak Nasional 2016 tertanggal 23 Juli kemarin. Semangat mengakhiri kekerasan pada anak muncul seiring dengan maraknya tindakan kriminalitas, tindakan asusila, dan berbagai tindakan yang berdampak buruk terhadap anak, kini dan nanti.

Sebut saja fenomena, bagaimana hidup seorang anak yang overdosis lemak karena tidak terkontrol baik oleh keluarganya? Bagaimana kisah tragis seorang anak dan kerabatnya hingga diangkat menjadi sebuah film siap rilis? Bagaimana kesehatan segelintir anak yang tak segan menghirup batangan racun oleh karena lingkungannya? Bagaimana kisah memilukan tindakan amoral seorang guru terhadap penerus bangsanya? Betapa malangnya ketika anak menjadi korban lingkungan bahkan keluarganya sendiri.

Pembaca yang terhormat, namun apakah anak selalu menjadi korban? Sejatinya, tidak, karena anak pun menjadi pelakunya, seperti saat penulis mengawali tulisan dengan pernyataan “..kita diijinkan terlahir.. menjadi seorang bayi.. anak-anak..”. Sejatinya, semua dari kita, siapapun itu, adalah seorang anak dari kedua orang tua kita. Berapapun usia kita, tetaplah seorang anak. Berapapun anak yang kita miliki, kita tetap seorang anak. Pun ketika dua orang terdekat telah mendahului, kita tetap seorang anak. Kalau pada suatu acara televisi, bisa diibaratkan SU (semua umur). Dan kekerasan tidak hanya dengan model kasar secara kasat mata, namun juga ada yang halus tak kasat mata.

Kekerasan itu saat kita mengabaikan 3 hak. Hak pada Allah, hak pada keluarga, dan hak pada diri sendiri. Merasa tenang ketika panggilan Allah lewat sekian jam begitu saja. Merasa biasa ketika melihat keluarga asyik didepan layar televisi disaat panggilan Allah berkumandang. Merasa tidak bersalah dan kasihan bila anggota keluarga dibangunkan pagi buta untuk shalat shubuh. Merasa kuat dengan sengaja menunda makan dan istirahat pada waktunya. Lebih-lebih pada usia anak, “tapi kan tapi kan mengajari anak harus bertahap tidak boleh dipaksakan (?)”.

Kekerasan itu saat 3 cinta kita tidak muncul. Cinta pada Nabi, keluarga, dan Al-Qur’an. Rasanya cukup ketika sudah tahu tanggal kelahiran nabi, nama anggota keluarganya, nama nabi yang wajib diketahui, tanpa mau tahu apa yang mereka ajarkan, liku kehidupan seperti apa yang mereka alami, bagaimana bijaknya pengambilan keputusan yang mereka contohkan baik lisan maupun perbuatan. Rasanya cukup ketika pengabdian terhadap keluarga pada tataran mau membantu bersih-bersih, membantu belanja, giat belajar, atau rajin ikut les-lesan, disaat yang sama melupakan adab berbicara pada orang tua, tidak paham adab bersikap pada orang tua, tidak mau memahami batasan yang sewajarnya dalam keluarga, dan sebagainya. Pun rasanya cukup ketika bisa membaca dengan lancar rangkaian huruf hijaiyah, melafalkan bacaan dengan keras dan cepat, sebatas mau membaca terjemahan bebasnya, atau tilawah hanya saat bulan Ramadhan saja, tanpa merasa kurang dalam hal hukum bacaan, ilmu dalam terjemah, adab terhadap Al-Qur’an, bahkan tidak mau tahu keutamaan tilawah Al-Qur’an. Lebih-lebih pada usia anak, “tapi kan tapi kan anak sekarang sibuk-sibuk, pelajaran dan tugasnya banyak (?)”.

Kekerasan itu saat 3 hal lebih populer. Fashion, Food, and Fun. Mengenakan celana khas rimba dengan bekas cakaran singa, baju yang kainnya tipis dan mengandung lem sehingga melekat ketat dengan tubuh, hingga penutup kepala berbagai model plus asesorisnya, nyatanya lebih populer daripada pakaian longgar bin tebal bin polos bin syar’i. Melancong dan mencoba kuliner berbagai jenis hingga kenyang melupakan 3 hal yang lain, lebih memuaskan daripada menahan diri hingga maghrib menjelang dan merasakan 2 kenikmatan tiada tara dikala itu dan nanti. Berdiri sekian jam demi bertemu penyanyi eksentrik idola kita yang kali pertama manggung diiringi lantunan kalam-kalam manusia lebih tidak melelahkan daripada duduk sekian waktu bermunajat dalam taman-taman surga yang malaikatpun mendo’akannya. Lirik dan lagu-lagu asing nun jauh dari nilai-nilai baik lebih keren daripada Kalamullah dan lantunan shalawat nabi. Hafal dan tahu nama maupun wajah pemain sinetron bermotor beradu kuda besi atau pejuang militer memadu kasih dalam drakor lebih utama daripada hafal dan tahu nama sahabat dan pejuang di jalan Allah baik laki-laki maupun perempuan yang berdarah-darah teguh membela islam. Lebih-lebih pada usia anak, “tapi kan tapi kan anak harus beradaptasi dengan jaman dan lingkungannya (?)”.

Kekerasan itu saat 3 ruangan sudah penuh sesak. Ruang untuk makanan, minuman, dan udara. Food dengan segala rahasia resepnya mampu merangsang kelenjar saliva dan otak kita untuk menerimanya, apapun kondisinya. Tidak jarang nilai gizi digadaikan demi terpenuhinya 3 ruangan ini. Bahkan mungkin lupa bahwa seburuk-buruk tempat adalah perut (yang tersisi penuh). Pun menolak lupa bahwa perut merupakan sumber penyakit. Lebih-lebih pada usia anak, “tapi kan tapi kan anak dalam usia pertumbuhan membutuhkan nutrisi yang banyak (?)”.

Kekerasan dalam bentuk lain yang lebih halus, seperti saat beberapa guru dilaporkan bahkan dibui dengan mudahnya. Tidak menghiraukan guru berbicara, biasa. Bertindak semena-mena terhadap guru, take a selfie. Berani cerita kepada orang tua atas kekejaman guru, merasa jujur dan bangga. Giliran ditegur sedikit karena ketidaksengajaan, down. Giliran dihukum sedikit karena ketidakdisiplinan, menangis. Giliran mendapat perhatian lebih, sigap lapor penegak hukum dan komisi perlindungan. Giliran sukses masuk televisi, minta damai dan pengampunan. Padahal betapa pentingnya adab orang yang belajar terhadap orang yang mengajarinya, murid terhadap guru. Lebih-lebih pada usia anak, “tapi kan tapi kan anak harus diperlakukan dan diajarkan hal baik oleh gurunya (?)”.

Kekerasan yang halus itu saat “nilaimu berapa?”. Belajar apa? IPA, IPS, bahasa inggris. Nilainya berapa? 80, 90, 100, “wah pintar ya, pasti juara kelas dan masa depannya bagus”. Belajar apa? Matematika. Nilainya berapa? 75, 50, 40, “mau jadi apa kamu? Les sana! Atau mending tidak usah sekolah, memalukan”. Belajar apa? pendidikan kewarganegaraan, bimbingan konseling, pendidikan agama. Nilainya berapa? 80, 100, “mudah kan ya? Ndak usah belajar susah-susah, matematikamu itu tingkatkan”. Nilainya berapa? 70, 50, 30, “oh tidak apa-apa memang ilmunya susah, abstrak, kembali kepribadi masing-masing”. Input belajar matematika, output nilai matematika. Input belajar IPA, output nilai IPA. Input belajar PKn, output nilai PKn. Input belajar agama, output nilai agama. Bukan bagaimana keterkaitan, urgensi, dan nilai praktis antara matematika, IPA, PKn, agama, dan sebagainya untuk kemaslahatan/ kemanfaatan umat. Bukan pula bagaimana ilmu agama sejatinya tidak terpisah dari ilmu lainnya. Lebih-lebih pada usia anak, “tapi kan tapi kan gimanapun anak nilainya harus bagus supaya lulus (?)”.

Dan, masih banyak kekerasan lainnya yang lebih halus. Pembaca yang terhormat, akhiri kekerasan pada anak! Ya, pada anak, yaitu pada diri kita terlebih dahulu, mulai dari diri kita dahulu. Kekerasan yang kerap kita lakukan pada diri sendiri tentu akan membawa dampak bagi diri dan sekeliling. Hak terhadap Allah, keluarga, masyarakat, anak-anak, bahkan diri kita sendiri, apabila tidak terpenuhi tentu menjadikan sesuatu yang ada dalam tubuh ini menjadi keras. Sekeras batu. Bahkan tidak dimungkiri Allah akan benar-benar mengeraskan sesuatu itu, yang tiada nur bisa menembus kecuali dengan ijin-Nya. Yang lebih fatal adalah ketika kerasnya sesuatu itu menjadi awal dari kekerasan yang kasat mata membahayakan secara langsung, dan Allah benar-benar telah menutup sesuatu yang disebut dengan “hati”. Naudzubillah.


Akhir kata, penulis mohon maaf atas segala kesahalan informasi, tulisan, maupun hal yang mungkin menyinggung hati, karena penulis tak lebih baik dari Pembaca. Penulis memohon saran, kritikan, maupun ide yang membangun. Penulis pun sebagai seorang kakak, calon orang tua, pengajar serta pendamping bagi adik-adik, bahkan sebagai anak, mengakui masih juga melakukan kekerasan yang halus tersebut. Namun sebaik-baik manusia adalah yang mengingatkan akan kebenaran dan kesebaran, yang berlomba-lomba dalam kebaikan, serta bertaqwa pada Allah ta’ala. Karena masuk surga enaknya bareng-bareng. Akhirul kalam, wassalau’alaykum, Pembaca.

Sunday, July 10, 2016

SEBUAH POTRET ANTIMUBADZIR: MAKAN HABIS DAN PIRING KOSONG

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah disetiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (QS. Al A’raaf: 31).


Assalamu’alaykum, Pembaca. Syukur alkhamdulillah selalu terucap dari hati yang semoga masih diberikan hidayah untuk mengingat-Nya hingga hari ke-5 bulan Syawal ini. Yuk, katakan alkhamdulillah yang sudah mulai menunaikan tanggung jawab qada’ puasanya. Yuk, katakan alkhamdulillah yang sudah mulai puasa sunnah Syawal. Yuk, azzamkan atau tekadkan atau bahkan niatkan diri ini untuk dapat menyegerakan kedua hal tersebut bagi yang belum. 5 hari terlalui tentu dengan kebahagiaan karena “kembali boleh makan”. Hidangan spesial ala lebaran di Indonesia seperti aneka kue kering, beragam jajanan kaleng, sepanci ketupat sayur, seonggok daging ayam berbalur rempah, aneka warna dan rasa minuman, pasti membuat Pembaca sekalian #Opordosis. Kebahagiaan dari perut yang telah terenggut selama sebulan, meningkat drastis hanya dalam 1 hari. Tak lupa, perut memberikan #KodeKeras ke otak, tangan, dan mulut kita, bahwa diri ini sanggup menerima sekian banyak hidangan tersebut, seakan sanggup menghabiskannya. Alhasil, piring pun overload laiknya tol Brexit dan menggunung laiknya tempat pembuangan akhir. Namun sebuah akhir yang dramatis saat sekian sendok nasi, sekian liter kuah, sekian kilogram daging, harus mati (baca: terbuang) sia-sia karena ketidakmampuan perut kita sendiri.


Pembaca yang terhormat, menilik fenomena tersebut, cukup relevan dengan potongan ayat Al-Qur’an dari surat Al A’raaf. Betapa kita memang dapat berlebih-lebihan salah satunya dalam hal makan dan minum. Kalamullah surat Al-Israa’ ayat 27 disebutkan bahwa para pemboros merupakan saudara dari syaithan. 2 ayat yang insyaaAllah membuat kita cukup paham betapa bermaknanya segala hal (makanan dan minuman) yang mati (terbuang) sia-sia tadi.


Disisi lain insyaaAllah ada segolongan umat yang telah sadar atau paham, yang mencoba mengajak saudaranya untuk tidak bersaudara dengan syaithan terus-menerus. Segolongan umat yang berusaha menghabiskan makanan yang diambilnya, atau berusaha membatasi makanan yang hendak dikonsumsi sesuai kemampuan normalnya. Please wellcome spesial hastag #BeraniMakanHabis #PotretPiringKosong sebagai wujud Kampanye Antimubadzir.


Simply, pastikan di dalam piring, gelas, maupun wadah makan yang Anda pakai benar-benar hampir habis atau tidak tersisa sedikitpun kecuali yang nampak (noda, dll). Lalu potret dan beri hastag spesial tersebut. Niatkan diri sebenar mungkin lillahi ta’ala sebagai salah satu tanggung jawab reminder utamanya bagi diri sendiri dan umumnya bagi orang lain untuk tidak mubadzir. Lalu viralkan melalui media sosial. Sebuah kampanye antimainstream yang tidak hanya berlaku sekian hari pascaramadhan, namun juga untuk keseharian kita antara ramadhan kemarin dengan ramadhan berikutnya, insyaaAllah.



Penulis mohon maaf atas segala kesalahan yang mungkin terjadi dalam setiap tulisan (barangkali banyak yang tersindir, sakit hati, bunuh diri #eh) karena penulis tidak lebih baik dari Pembaca. Pun kampanye tersebut bukanlah inisiatif atau ide dari penulis, jadi jangan salah sangka. Penulis hanya menyampaikan fenomena yang ada. Saling mengingatkan dalam kesabaran dan kebenaran, saling berlomba dalam kebaikan, karena masuk surga enaknya rame-rame. Taqabbalallahu minna wa minkum, Pembaca, semoga amal ibadah kita saat ramadhan kemarin diterima oleh Allah dan kita dipertemukan dengan ramadhan berikutnya, Allahumma aamiin. Wassalamu’alaykum.

Friday, July 1, 2016

RAMADHAN.. KEPERGIANMU MEMBUATKU KEHILANGAN

“...Bagi orang yang melaksanakan puasa ada dua kebahagiaan, kebahagiaan ketika berbuka, dan kebahagiaan ketika bertemu Rabbnya...” (HR. Muslim).

Assalamu’alaykum, Pembaca. Syukur alkhamdulillah, Allah masih memberikan kesempatan membuka mata hingga mendekati akhir ramadhan 1437H ini. Betapa bahagianya ya sebentar lagi bisa kembali pada rutinitas secara normal. Menikmati kembali segala makanan dan minum tanpa batasan apapun, terlebih makanan yang biasanya melimpah pascaramadhan. Menikmati nyenyaknya tidur tanpa harus bangun pagi-pagi benar untuk menjadi bagian garda terdepan jamaah shubuh. Menikmati dan memaksimalkan aktivitas malam hari tanpa terganggu +8 atau +20 yang benar menghabiskan waktu dan nyatanya melelahkan, tidak seperti makna santai sesungguhnya. Dan masih banyak lagi kenikmatan tiada tara ketika sebuah pintu dibuka dan pintu yang lain ditutup, benar begitu kan?? :)

Pembaca yang terhormat, senyatanya tidak sebahagia atau senikmat itu. Cuplikan hadits diatas menunjukkan salah satu kebahagiaan yang justru tidak akan kita dapatkan secara normal selepas ramadhan, bila tidak berbekal usaha yang begitu kuat.

Yang hilang itu, kebahagiaan saat berbuka puasa. Kebahagiaan yang tidak diketahui orang lain, hanya kita dan Allah yang tahu. Orang lain hanya bisa melihat semangat kita ke masjid, antri ta’jil, menyegerakan berbuka, dan sejenisnya. Namun kembali, itu hanya sebagian yang nampak. Dan kini #RamadhanAkanPergi.

Yang hilang itu, bernama kebersamaan. Kebersamaan saat berbuka puasa “buber” dengan keluarga, rekan-rekan, bahkan orang yang tidak kita kenal sekalipun. Kebersamaan berkumpul yang insyaaAllah, dan semoga diniatkan dengan benar, untuk silaturrakhim. Bukankah silaturrakhim bisa “memperpanjang” kesempatan kita untuk berbuat baik? Dan kini #RamadhanAkanPergi.

Yang hilang itu, bernama kesetaraan. Baik kita kaya atau berkecukupan, bos atau pegawai, pejabat atau rakyat jelata, kaum intelektual atau kaum awam, we’re all the same. Apapun kondisinya, kita sama-sama merasakan namanya dahaga luar biasa, lapar tiada tara, nyesaknya menahan segala sesuatu yang halal lagi baik untuk kita nikmati. Orang yang hanya bisa makan 1x sehari bila mampu, hingga yang biasa makan 3x sehari bila tidak kurang. 1 bulan yang mana membuat kita sama-sama “merasa” senasib seperjuangan, saling menguatkan dan menahan diri dari godaan makanan yang nikmat. Dan kini #RamadhanAkanPergi.

Yang hilang itu, bernama sahur. Bukan sahurnya, namun sunnah Rasulullah. Pahala sunnah yang hanya didapatkan untuk orang-orang yang sahur sebelum puasa. Dan kini #RamadhanAkanPergi.

Yang hilang itu, somekind like menyegerakan berbuka. Bukan secepat-cepatnya menghabiskan seluruh sajian ifthar, namun sunnah Rasulullah. Menyegerakan berbuka dengan kurma dan air bening juga sunnah. Sunnah lagi. Dan kini #RamadhanAkanPergi.

Yang hilang itu, bernama santai dan berjumlah +8 atau +20. Shalat tarawih, yang semakin menambah keberkahan karena telah mengisi malam yang biasanya waktu untuk istirahat, waktu untuk keluarga, waktu untuk belajar, namun diisi dengan ibadah yang sunnah juga. Lagi-lagi sunnah. Dan kini #RamadhanAkanPergi.

Yang hilang itu, bernama respect of time. Bangun pagi benar, bisa. Sahur mendekati shubuh, bisa. Shalat Shubuh jamaah, bisa. Beraktivitas, masuk kerja, masuk sekolah, tetap tepat waktu, bisa. Shalat dhuhur, ashr, maghrib, berjamaah dan tepat waktu, bisa. Berbuka puasa tepat waktu tet saat adzan, bisa. Shalat isya dan tarawih tepat waktu, bisa. Tetap tilawah dan beraktivitas malam sampai tidur lalu bangun shalat malam tepat waktu, bisa. Apakah setelah “ngoyo” atau berupaya seperti itu lalu kita kelelahan? Jatuh sakit? Tidak pula. Sebuah kondisi time management yang kondusif dan bukti nyata bahwa kita mampu tepat waktu. Bukan sehari dua hari, namun 1 bulan. Dan kini #RamadhanAkanPergi.

Yang hilang itu, bernama saudara-pejuang-pemakmur masjid. Merasakan penuhnya jadwal piknik ke taman-taman surga dari pagi sampai malam. Melihat penuhnya masjid diawal ramadhan, sebanyak itulah saudara kita. Melihat depan, belakang, kanan, kiri, sudut-sudut ruang, baik yang melingkar atau berjajar, sama-sama tilawah Al-Qur’an, menjaga pintu-pintu masjid terbuka dan lampu-lapun masjid tetap menyala sampai larut malam. Sunnah, so pasti, namun dilain sisi lagi-lagi suatu kondisi yang kondusif, kondisi yang “hidup”, kondisi yang diidam-idamkan oleh masjid manapun. Dan kini #RamadhanAkanPergi.

Yang hilang itu, bernama lailatul qadr. 1 malam saja, bernilai lebih baik dari 1000 bulan. Disaat malam-malam lain hanya membuat kita galau karena single, menatap takjub langit yang mendung, maupun menatap kosong langit indah penuh bintang, 1 malam ini benar-benar menggerakkan kegalauan dan tatapan palsu itu menjadi lantunan kalamullah sembari berdo’a memohon ampunan atas segala jenis dosa yang telah melangit ini. 1 malam tak terduga yang mampu menggerakkan semangat taqwallah minimal dalam 10 hari terakhir ini. Dan kini #RamadhanAkanPergi.

Yang hilang itu, double-triple-quadruple-infinity exp. Gamer setia pasti tahu exp (experience) berguna untuk naik level. Namun kita orang biasa cukup paham dengan pahala. Saat  1 kebaikan dilipatgandakan 10x atau 700x atau lebih dari itu, disaat yang sama sunnah dinilai wajib, yang wajib dilipatgandakan sekian kali yang wajib. Matematika Allah memang beda. Namun cukup menyadarkan betapa pahala benar-benar ready stock dalam jumlah tak terbatas dan siap kita raup sebanyak mungkin, setiap hari, setiap waktu, every where. Dan kini #RamadhanAkanPergi.

Pembaca yang terhormat, penulis yakin sebenarnya masih banyak hal yang akan hilang ketika bulan ramadhan ini usai. Dan, “...kenikmatan tiada tara ketika sebuah pintu dibuka dan pintu yang lain ditutup...”, ketika pintu-pintu neraka dibuka selebar-lebarnya, syaithan tidak lagi dibelenggu, apakah hati ini akan rindu ramadhan? Akankah diri ini tergerak untuk “melanjutkan” nafas-nafas ramadhan? Akankah diri ini mampu “menjaga” ramadhan sampai ramadhan berikutnya?.... Apakah kita yakin masih diperkenankan Allah bertemu dengan ramadhan tahun depan hanya untuk mendapatkan kebahagian-kebahagian tersebut?....


Akhir kata, penulis mohon maaf atas segala hal yang tidak selayaknya ditulis, maafkan atas segala sindiran yang ada. Mohon maaf juga atas segala kesalahan pribadi penulis didunia nyata. Kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan oleh penulis. Wassalamu’alaykum, Pembaca.

Monday, February 1, 2016

GERAKAN MENUTUP AURAT: MENJAGA, MEMULIAKAN, SAUDARI SEUTUHNYA

Assalamu’alaykum, Pembaca. Syukur alkhamdulillah atas nikmat yang diberikan oleh Allah ta’ala hingga bulan Februari tahun 2016 masehi ini. Postingan edisi Februari, kiranya sudah bisa ditebak. Februari identik dengan 1 peringatan yang disukai muda-mudi kekinian. Suatu peringatan yang menguntungkan bagi pembuat coklat, penjual bunga, penjual surat dan kertas unyu-unyu, hingga pengusaha villa dan hotel sekelas kamboja *if you know what I mean. Ya, Valentine Day atau yang disalahartikan sebagian masyarakat sebagai hari Kasih Sayang.

To the point, masyarakat Indonesia yang semakin kritis tentu tidak segan sejenak searching makna dari Valentine Day, sejarah Valentine, perkembangan kekinian, dampak sosial maupun budaya, dan sebagainya, setuju? Tidak perlu tersipu malu untuk membuka wawasan, membuka pintu kelam masa lalu (atau mungkin sekarang), dan membiarkan seberkas cahaya berbalut hawa sejuk mengisi rumah yang kelam ini.

Terlepas dari momen tersebut, muda-mudi Indonesia, bahkan dunia, kini sudah move on. Ketika hari Kasih Sayang dimaknai dan disikapi dengan tepat oleh para muslimah, say good bye to Valentine Day and welcome GEMAR! GEMAR atau yang akrab disapa “Gerakan Menutup Aurat”, merupakan contoh nyata kasih sayang muslimah terhadap Indonesia, kini dan nanti. Sebuah gerakan yang berusaha menyelamatkan kita dari api neraka? (wih, ekstrem bahasanya!). Sebuah gerakan yang berusaha menggulung dagangan-dagangan “kurang kain” nan jahiliyah? (hmm, jahat sekali ya?). Ketika ada yang beranggapan seperti itu, cukuplah pahami GEMAR sebagai “gerakan yang berusaha memuliakan saudarinya, berusaha menjaga kehormatan saudarinya, berusaha menjadikan diri ini sebagai saudari yang seutuhnya”, bukankah kita bersaudara?

Tidak perlu heran ketika kelak saat hari Valentine ada agenda penggalangan hijab, bagi-bagi hijab laik pakai secara masif, bagi-bagi bunga, stiker unyu, kaus kaki antidingin, mengadakan seminar dan training hijab syar’i *tsaahh, mengadakan aksi di tempat-tempat yang tak terduga, dan sebagainya. Tidak perlu menganggap agenda seperti ini buang-buang waktu, tenaga, dana, bahkan perasaan. Toh semua yang terbuang itu bakal diganti oleh Allah dengan yang jauuuuuuh lebih baik dan banyak, kini maupun kelak, itu kalau Anda percaya sih. Tidak perlu beranggapan ini ajang cari perhatian untuk parpol, organisasi masyarakat, gerakan-gerakan yang berbasis islam (bukan yang ngaku-ngaku islam lho) karena itu sudah tugas utama mereka sehidup-semati, amar ma’ruf nahi munkar, itu kalau Anda paham sih. Tidak perlu malu untuk mulai mengenakan hijab, berpenampilan laiknya muslimah seutuhnya. Bila ada yang berpendapat bahwa memperbaiki sikap atau sifat lebih utama dari sekedar berhijab, rasanya justru setelah berhijab, kekuatan dan semangat untuk memperbaiki diri, bersikap-bersifat sewajarnya muslimah akan jauh lebih besar.

Overall, masyarakat kini semakin pintar, memaknai segala hal dengan lebih baik. Muslimah melihat potensi kebaikan yang bisa diwujudkan sebesar mungkin, menimbang besarnya mudharat yang akan berkembang bila suatu trend absurd dibiarkan, mengingat sudah kewajiban seseorang yang berbekal rahmatan lil’alamin untuk mengingatkan akan suatu kebenaran, dan menetapkan bahwa diri ini muslimah yang “siapa lagi kalau tidak dimulai dari diri sendiri, siapa lagi kalau bukan saya, saya harus ambil bagian dalam kebaikan ini”. Inilah kasih sayang yang nyata. Bukankah wanita itu pilar suatu negara? Saling menguatkan antar pilar adalah hal yang utama, yo po ra?

Akhirnya, penulis mohon maaf atas segala tulisan yang kurang berkenan bagi Pembaca sekalian. Kritik dan pendapat selalu dinanti untuk perbaikan pemahaman penulis pribadi. Kesadaran, keikutsertaan, dan support Pembaca dalam segala kegiatan GEMAR yang hadir di kota Anda juga dinanti lho. See you at 14 Februari, Hari Menutup Aurat *Cowok juga lho!!!..

Wassalamu’alaykum, Pembaca tercinta.