“...Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus
berbakti pertama kali?.. Ibumu!.. Kemudian siapa lagi?.. Ibumu!.. Kemudian
siapa lagi?.. Ibumu!.. Kemudian siapa lagi?.. Kemudian ayahmu...” (HR.
Bukhari dan Muslim). Sebuah surat perintah langsung dari Allah dan Rasul-Nya,
sebuah perintah yang tertuju pada seluruh manusia tak terkecuali, karena pasti
kita memiliki seorang ibu untuk dapat hadir di dunia ini. Cinta Allah terhadap
kita terbukti dengan menghadirkan orang spesial yang sudah jelas kita pikirkan
setiap hari, kita jaga setiap saat baik secara langsung maupun tidak langsung
melalui do’a kita, yang kemudian kita pikirkan dan usahakan tersebut senilai
dengan ibadah. Akan berbeda ketika orang tua apalagi ibu sudah tidak dihadirkan
Allah dalam benak, hati, bahkan do’a kita sehari-hari, tergantikan oleh
bayang-bayang asyiknya jalan bersama teman, terpikir rencana senangnya kumpul
bersama teman, dan sebagainya.
“...Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu
kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang berbuat demikian itu adalah
Allah...” (QS. Az-Zumar: 6). Cinta Allah terhadap kita yang pada saat itu
hanya darah, segumpal daging, yang lemah, terbukti melalui anugerah berupa
tempat yang dinyatakan sebagai tempat yang kokoh, yaitu rahim dari seorang ibu.
Tempat yang mampu melindungi sekaligus membesarkan segumpal daging tak
berbentuk, menjadi tulang belulang, otot dan organ, syaraf, hingga kemudian
sang ibu mampu merasakan keaktifan kita. Keaktifan yang sejatinya menyusahkan,
membuat semakin berat dan susah dalam beraktifitas. Namun ibu tahu aktifnya
buah hati merupakan hal yang semakin menguatkan dirinya.
“Kami
perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya,
ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah
pula. Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan...” (QS.
Al-Ahqaaf: 15). Cinta Allah terhadap kita yang pada saat itu sungguh merepotkan
hidup seorang wanita yang hamil, Allah mengijinkan kita untuk keluar. Kita yang
pada saat itu dengan senangnya keluar tanpa tahu bagaimanakah usaha ibu yang sejatinya
mempertaruhkan nyawa hanya demi melihat buah hatinya. Kita lahir ke dunia tanpa
mau tahu bahwa Allah telah mempersiapkan tempat terindah di dalam naungan-Nya,
surga-Nya, ketika kemudian ibu tersebut ridha dan Allah mengijinkan ruh ibu
untuk kembali pada Rabb-nya pada saat itu juga. Cinta Allah terhadap kita yang
kemudian lahir sebagai bayi yang hanya bisa menangis sebagai isyarat atas
segala hal yang diperlukan. Allah tidak hentinya mencintai kita melalui
kemampuan seorang ibu dalam menyapih kita. Tetes demi tetes air susu yang
hingga sampai akhir hayat kita pun, satu tetes saja tidak akan pernah bisa
tergantikan dengan amaliyah baik kita.
“Dari Abdullah Ibnu Amar al-‘Ash Radhiyallaahu’anhu
bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda: “keridhaan Allah tergantung
kepada keridhaan orang tua dan kemurkaan Allah tergantung pada kemurkaan orang
tua” (HR. Tirmidzi). Sungguh Allah mencintai kita dengan hadirnya ibu.
Setiap perkataannya, do’a yang dilantunkan, seakan tidak ada pembatas dan
halangan supaya Allah tidak mengabulkannya. Allah memberikan akses khusus
terkabulkan do’a ibu setiap saat, sepanjang umur hidupnya, selama tidak berbuat
dosa besar. Do’a baik orang tua menjadi sebuah keniscayaan bahwa kemungkinan
besar akan terjadi. Pun sebaliknya, do’a buruk terhadap si anak pun menjadi
sebuah keniscayaan untuk terjadi. Namun betapa ibu adalah orang yang sabar lagi
bijak, menyikapi dan mengambil langkah dalam berdo’a hanya untuk kebaikan buah
hatinya. Karena ibu paham potensi do’a yang pasti terkabul pun menjadi senjata
berbahaya sejak do’a akan keburukan itu baru saja terlntas dalam benaknya
sepersekian detik.
Akhirnya,
inilah sebagian kecil bentuk cinta Allah kepada kita umumnya sebagai seorang
anak, dan khususnya sebagai seorang ibu yang sungguh dimuliakan Allah dan
Rasul-Nya. Allah mencintai kita bukan dari melimpahruahnya harta kita, bukan
dari berapa harta yang kita miliki, bukan dari nafas yang sampai detik ini kita
nikmati. Namun kehadiran seorang ibu lah beserta segala kelebihannya merupakan
bukti kecintaan Allah kepada kita tak terkecuali. Dan sungguh disayangkan
apabila seorang ibu telah dipanggil Rabb-nya, menjadikan satu kunci kenikmatan
sekaligus kenikmatan seorang anak itu sendiri telah hilang selama-lamanya. (maw)